Kamis, 27 Februari 2025

Kisah PPKM Part 1 (Registrasi pemilik baru tubuhku)

 Untuk mengerti siapa itu aku dan peranan Pak Karso dalam perjalanan hidupku. Silahkan baca ceritaku yang pertama karena aku malas mengulang cerita lagi. Ini kan cerita kedua, jadi harus kuceritakan pengalamanku yang lainnya. Menarik atau tidak, itu terserah opini si pembaca. Yang pasti, mau ada badai topan atau hujan es pun, aku akan tetap bercerita semauku. Ceritaku ini berlanjut saat aku sudah kelas 3 SMA, tepat setelah aku merayakan ulang tahun ke 18ku dengan Pak Karso.




Hana Sudah SMA​

Tamatlah sudah masa belajarku di SMP. Aku pun telah diterima di salah satu SMA negeri. Aku sangat bersyukur karena aku bisa lulus UN dan bahkan diterima di salah satu SMA negeri yang cukup favorit di Jakarta. Cukup jauh memang dari rumahku, tapi itu membuatku jadi tidak bosan. Dari semenjak aku pertama kali diintimi oleh Pak Karso dulu sampai sekarang aku telah SMA, kami masih sering bertemu untuk melampiaskan hasrat seksual kami. Bagaimana waktunya ? Mungkin kalian tanyakan. Aku beri tahu jadwalku. Di SMA, aku mengambil ekskul cheerleader karena sejak aku MOS, kakak-kakak kelasku yang cewek terus menerus mengajakku untuk join tim cheerleader. Yah, akhirnya daripada dikejar-kejar terus, aku pun mengiyakan untuk ikut. Nah, aku ekskul setiap hari Selasa, dan Kamis. Jadi kenapa aku cerita jadwal eskulku?


Tentu dari jadwalku itu, kalian pasti tahu kapan aku mengunjungi kekasih tuaku alias Pak Karso. Yap, Senin dan Rabu itu hari dimana aku langsung caw ketika bunyi bel sekolah menggema di kupingku. Mau ada ajakan jalan, shopping, atau apapun, pasti ku tolak. Ya mungkin kecuali jika ada acara sekolah yang mengharuskan murid-muridnya untuk mengikutinya (namanya juga sekolah negeri). Jika seperti itu, biasanya aku langsung mengirim sms ke Pak Karso yang sudah kusuruh beli hp sejak aku sudah lulus dari SMP ku agar kami bisa lebih mudah memberi kabar.

 

Tapi jika dua hari itu tidak ada apa-apa dari pihak sekolah, segera aku langsung pergi bagai angin menuju SMPku. Memang sih acaraku tidak hanya menemui Pak Karso, sebab aku butuh alasan supaya bisa mengunjungi SMPku secara terjadwal, jadi aku mengiyakan ketika aku ditawari untuk menjadi pelatih senior tim paskibra SMPku karena teman-temanku bekas paskibra yang lain tidak mau karena terlalu sibuk. Setiap 2 minggu sekali, aku diberikan amplop oleh guru pembimbing SMPku, padahal aku sudah bilang tidak usah karena kan ini sebenarnya hanya 'kamuflase'ku saja, tapi beliau memaksa. Jadi aku terima saja, lumayan untuk menambah uang jajan.

 

Latihan paskibra paling maksimal hanya satu setengah jam saja. Setelah itu, aku langsung pulang, alasannya aku bilang sudah capek banget, padahal aku mengendap-ngendap ke samping sekolah, bertemu Pak Karso untuk melakukan 'olahraga intim' berdua. Setiap aku datang, pasti Pak Karso langsung menarikku masuk sambil mencumbuiku dengan membabi buta seperti orang yang sudah menahan nafsunya selama 2 bulan lebih. Dia sama sekali tidak keberatan dengan tubuhku yang tentu semenjak pagi tidak terbasuh air. Dia malah bilang, aroma tubuhku sehabis sekolah itu sangat khas dan sangat memancing nafsunya, jadi dia benar-benar suka aroma tubuhku sehabis sekolah yang campuran parfum dan keringat. Bahkan tak jarang, dia menjilati tubuhku dari kepala sampai ujung jari kakiku seakan tubuhku ini merupakan makanan ternikmat sedunia.


Itulah yang membuatku tidak bosan bermain adu kelamin dengan Pak Karso. Aku merasa begitu diinginkan dan dipuja olehnya, jadi bukan karena alat kelaminnya atau staminanya. Walau memang harus kuakui, staminanya benar-benar kuat, umur yang sudah tua sepertinya, tapi masih bisa mengintimiku sampai 3x.  Untuk ukuran kemaluan, tidak terlalu besar, standar lah, tapi aku tidak yakin juga sih karena kan aku baru melihat & 'menjajal' satu kemaluan pria saja selama ini yakni, milik Pak Karso. Aku cuma membandingkan saja dari gambar-gambar yang kulihat dari internet. Dan ya, Pak Karso juga merupakan satu-satunya orang yang melihat dan bahkan kupikir ikut turut serta dalam perkembangan tubuhku dari tubuh seorang anak perempuan menjadi tubuh seorang gadis. Seperti yang sudah kuceritakan, sesi sore kami, sebelum kami bercinta dengan bergairahnya seperti pasutri baru, pasti Pak Karso memijatku, khususnya pinggang, pinggul, payudara, dan juga pantatku.

 

Kupikir pijatan Pak Karso dulu hanya untuk membuatku rileks sekaligus untuk merangsangku, namun belakangan ini aku tanya kenapa selalu memijitku di bagian-bagian itu, dia bilang untuk membentuk tubuhku. Aku iya iya saja karena tidak tahu, tapi baru kusadari saat ibuku bilang kemarin kalau tubuhku benar-benar semakin berisi, padat, dan seksi seperti model. Setelah kupikir-pikir, benar juga. Kedua buah payudaraku benar-benar bulat dan membusung ke depan seperti sedang memakai korset saja.


Pantatku juga jadi bulat padat berisi dan agak naik ke atas.  Banyak teman-teman perempuanku yang bilang aku ini bom seks. Apa itu bom seks ?. Ternyata bom seks itu julukan bagi perempuan dengan tubuh yang padat berisi dan 'menantang' nafsu para pria tanpa harus melakukan apapun alias berpakaian tertutup dan bertingkah biasa saja pun sudah bisa membuat pria-pria ngiler sengiler-ngilernya melihat tubuhku.

Aku tidak tahu apakah harus berterima kasih atau tidak pada Pak Karso yang telah 'membantu' membentuk tubuhku jadi seperti sekarang karena selalu tercipta moment of silence ketika aku lewat di hadapan cowok-cowok di sekolahku baik yang seangkatan, adik kelas, atau kakak kelas.


Dan bagiku, itu sangat tidak nyaman. Tapi yang pasti tubuhku yang sekarang ini kugunakan atau lebih tepatnya 'kusajikan' hanya untuk satu orang, si pembuatnya, yang tak lain dan tak bukan, adalah Pak Karso. Sementara cowok-cowok yang masih muda hanya bisa ngiler dan berfantasi tentang tubuhku, satu pria tua ini dengan bebas bisa menjamah tubuhku dan juga menggesekkan alat kelaminnya di dalam tubuhku melalui lubang-lubang tubuhku yang bisa digunakan untuk bersenggama. Dalam setiap kali bersetubuh, Pak Karso tak mau 'pilih kasih', dia selalu menggilir ketiga lubangku bergantian yakni, mulut, anus, dan vaginaku untuk ditusuk-tusuk 'jarum besar'nya itu.

Dari sejak waktu itu sampai sekarang, tak ada satu pun yang tahu hubungan beda generasi yang tak pantas ini.


Tidak ada yang tahu kalau ada seorang gadis belia punya jadwal bersenggama secara rutin dengan seorang pria lansia  atau setidaknya setiap ada kesempatan, yaitu aku & Pak Karso. Tidak kedua orang tuaku, teman-temanku, atau pihak sekolah. Semuanya rapih tak tercium siapapun. Oh iya, jadwal utamaku bertemu dengan Pak Karso memang Senin dan Rabu. Tapi ada hari tambahan aku bertemu dengan Pak Karso yakni antara Sabtu / Minggu, sementara Jumat, aku off dulu jadi pelipur lara Pak Karso karena aku tidak ingin cepat sakit. Tergantung acaraku dengan teman-temanku. Jika ada acara hari Sabtunya, ya aku bertemu dengan Pak Karso hari minggu, dan sebaliknya.


Mungkin kalian bertanya, kenapa kayaknya aku gampang sekali bertemu dengan Pak Karso ? Apa orang tuaku tidak curiga?. Jawabannya, tidak. Kedua orang tuaku tahu kalau aku anak yang aktif dari dulu, tidak suka bermalas-malasan. Selalu ingin punya aktifitas. Jadi mereka tak heran dan percaya saja kalau aku bilang main ke rumah teman / belajar kelompok.

 

Keluargaku bukan keluarga bercukupan, cuma keluarga pas-pasan. Ayahku cuma pegawai biasa, ibuku membuka tempat makan kecil-kecilan di depan gang masuk rumahku. Aku sama sekali tidak pernah mengeluh kondisi keluargaku karena aku masih beruntung mempunyai keluarga yang begitu hangat dan harmonis, meski sampai sekarang kadang aku merasa agak bersalah karena tidak memberi tahu mereka tentang semua yang kulakukan bersama Pak Karso. Kembali lagi ke cerita. Kalau Sabtu & Minggu, aku sama sekali tidak ada acara, ya sudah, aku langsung saja 'bablas' dari Sabtu pagi sampai Minggu siang, aku menjadi bidadari pelipur lara bagi Pak Karso di rumah istirahatnya yang ada di samping sekolah itu. Kalau Pak Karso sedang keluar untuk membersihkan sekolah, aku pun dengan setia menunggunya di dalam rumah sambil beberes dan menyiapkan makanan & minuman untuknya.


Bahkan beberapa kali, aku ikut membantu membersihkan sekolah jika hari Sabtu \ Minggu itu sama sekali tidak ada yang datang ke sekolah. Aku sering mesem-mesem sendiri, malam minggu, muda-mudi yang lain biasanya berpacaran dan pergi menonton film atau sekedar jalan-jalan, sedangkan aku malah asik di cabuli oleh seorang pria tua beberapa malam minggu belakangan ini. Pasti tidak akan ada yang percaya kalau aku memberikan tubuhku sepenuhnya ke Pak Karso, seorang pejantan tua yang seharusnya lebih cocok jadi kakekku. Tapi, biarlah, yang penting aku benar-benar menyukai sensasi dari kemaluan Pak Karso saat mengisi relung tubuhku dengan kenikmatan yang begitu 'adiktif' bagiku. Pernah Pak Karso bilang tak menyangka kalau gadis secantik aku bisa begitu agresif & nakal kepada seorang lelaki yang sudah bangkotan sepertinya, gadis lainnya pasti enggan atau bahkan jijik berhubungan intim dengannya.




  Pak Karso​

Aku hanya ketawa kecil saja sambil tersipu malu saat Pak Karso bilang seperti itu. Dan saat aku googling, ternyata benar feelingku dari dulu, kalau aku mempunyai kondisi psikologis yang berbeda untuk hal hubungan intim. Aku ternyata mengidap prilaku seks yang menyimpang dari para wanita pada umumnya. Pertama aku cari dari gemar sex, aku temukan kata-kata hyper seks yang artinya itu seseorang mempunyai nafsu yang begitu besar dan kecanduan seks sampai bisa berkali-kali berhubungan seks dalam satu hari. Dan sebutan untuk perempuan hyper sex, lebih dikenal dengan nymphomaniac, yakni perempuan yang sudah sex addict / kecanduan seks dan tidak keberatan melakukan hal-hal yang 'nakal' bersama pasangan seksualnya. Menyimpang sih, tapi setelah kubaca-baca artikel, cukup banyak perempuan zaman sekarang yang merasa dirinya nymphomaniac. Jadi kupikir tidak terlalu masalah.

 

Dan kedua, aku cari gemar bugil, kutemukan kata eksibisionis. Artinya, seseorang lebih terangsang jika mempertontonkan kemaluannya pada orang lain / menyadari ada yang memperhatikan daerah-daerah pribadinya. Jika sudah akut, si eksibisionis ini tidak akan segan-segan memperlihatkan kemaluannya pada orang yang baru dikenal hanya untuk mendapatkan tingkat rangsangan dan kepuasan tersendiri. Kupikir, aku memang lebih bergairah dan merasa sensual jika aku tak mengenakan pakaian secuil pun, tapi itu hanya kulakukan jika berada dan hanya berduaan dengan Pak Karso. Jadi, aku mungkin baru sedikit mengidap penyakit ini. Dan memang sepertinya, aku bisa dibilang mengidap komplikasi kelainan seksual. Tapi biarlah, tak ada yang tahu ini. 3x sudah kami 'berlaga panas', kami rasakan cukup hari ini saling mengumbar nafsu satu sama lain, saatnya sesi pijat.

 

“neng Hana..".

"Mmm..ada apa, Pak ?", jawabku sedikit melirih pelan karena sedang meresapi remasan & pijatan Pak Karso pada payudaraku.

 Sperma Pak Karso yang disemprotkan 2x di wajahku sudah mengering dan terasa lengket seperti sedang memakai topeng. Begitu halnya dengan perutku.

"Sepertinya ini hari terakhir kita bisa ketemu..".

"Ha ? Maksud Bapak ?", tanyaku langsung duduk.

"Iya, Bapak mau pulang ke kampung...".

"Tapi Bapak balik lagi kan ke sini ?", nadaku mulai gemetar.

"Bapak mau tinggal di kampung".

"Ke..kenapa, Pak ?". Jantungku serasa ditusuk pisau belati.

"Bapak sudah tua...bapak udah nggak kuat lagi, anak Bapak di kampung juga udah nyuruh Bapak pulang ke sana".


"Tapi..tapi..Hana...sendirian...", ucapku terisak-isak karena mulai menitikkan air mata. Segera tangan tua keriput itu mengusap air mataku dan memandang dalam-dalam mataku.

"Maafin Bapak, neng. Bapak juga nggak mau ninggalin neng Hana".

"Terus...kenapa, Pak ?", tanyaku dengan mata berkaca-kaca.

"Bapak udah ngerasa capek kerja dan mau menikmati masa tua aja di kampung bareng keluarga Bapak".

"Hana..nggak mau ditinggal Bapak..", kataku lalu memeluk erat Pak Karso sambil terus menangis. Pak Karso menarik nafas panjang dan membalas pelukanku.

"Bapak minta maaf...bapak sebenernya mau ngajak neng Hana juga ke kampung, Bapak mau ngelamar neng Hana jadi istri". Aku langsung menatap wajah Pak Karso.


"Tapi Bapak sadar kalau kita ini bakal dipandang jelek kalau ketauan sama orang lain. Dan neng masih panjang perjalanannya. Dan pasti orang tua neng Hana nggak bakal setuju".

"....". Aku hanya terdiam dan memandanginya. Kalau dipikir-pikir, benar juga. Hubunganku dengan Pak Karso ini pasti suatu saat harus berakhir karena secara sosial, Pak Karso bisa dianggap kakek bejat karena bersenggama dengan aku yang masih di bawah umur dewasa sedangkan aku pasti di cap sebagai perempuan murahan & hina karena dengan senang hati melayani nafsu pria tua seperti Pak Karso.


"Maaf, neng Hana. Sebenarnya, Bapak mau bilang dari minggu lalu. Tapi Bapak nggak berani". Aku pun mulai bisa mengendalikan perasaanku dan mengusap air mataku sendiri.

"Kalau aja, Hana udah cukup umur..pasti Hana ikut Bapak dan jadi istri Bapak".

"Maaf, neng..".

"Ya mungkin, emang udah jalan kita, Pak", aku berusaha menghibur diriku sendiri.

"Iya, neng. Bapak sebenernya sayang dan cinta mati sama neng Hana. Tapi kita emang nggak bakal bisa disatuin".

"Iya, Pak. Hana juga saaayaaang banget sama Pak Karso", ujarku sebelum mencium mesra mulut Pak Karso.


"Bapak minta maaf juga udah ngambil kegadisan neng Hana dan ngerusak masa depan neng Hana". Aku pun langsung mengunci mulutnya dengan jari telunjukku.

"Hana nggak pernah ngerasa nyesel udah ngasih keperawanan Hana ke Pak Karso. Buat Hana, Pak Karso itu segalanya, Hana bakal ngasih apa aja supaya Pak Karso seneng", jawabku seraya senyum manis.

"Neng Hana emang anugerah & hal terindah yang pernah Bapak alami di hidup Bapak. Terima kasih, neng Hana", balas Pak Karso lalu mengecup kening & bibirku.

"Mmm...Hana boleh nggak minta kenang-kenangan terakhir ?", pintaku malu-malu dengan mengulum bibir bawahku sendiri.

Nampaknya, Pak Karso mengerti dan langsung menciumku mesra. Malam itu karena memang Jumat malam, aku jadi bisa menginap dan menghabiskan waktu-waktu berhargaku dengan Pak Karso. Kami bercinta lagi, tapi kali ini dengan penuh kelembutan & kemesraan.


"Pak...mmm...di dalem...aja...hhhh", desahku.

"Tapi, neng...". Mungkin Pak Karso takut aku hamil karena selama ini dia tak pernah menyemprotkan air mani di dalam rahimku.

"Hana..mau..kenang-kenangan...terakhir..dari..Bapak", ucapku terbata-bata karena tengah merasakan kenikmatan yang perlahan namun sangat mengenakkan.

"Makasih, neng Hana..".

Entah ucapan terima kasih itu karena aku sudah menjadi pelipur lara untuknya selama ini atau karena aku memberikan izin baginya untuk membuang spermanya di dalam vaginaku. Akhirnya, dengan izin yang kuberikan, Pak Karso mulai menaburi rahimku dengan benih-benih cintanya. Hangat sekali dan membuatku merasa nyaman. Tak kusangka, ternyata nikmat sekali saat rahimku disiram sperma oleh Pak Karso. Kalau tahu seperti ini, aku biarkan Pak Karso membuang air maninya di dalam vaginaku dari awal. Biarlah aku hamil dan mengandung anak dari Pak Karso




Lelehan Mani Pak Karso​

Menjelang tengah malam, kami sudah benar-benar kelelahan, kami merasa cukup. Tapi sebelum tidur, dengan wajah yang begitu lelah, aku memaksakan diri untuk mengambil foto kenang-kenangan. Aku ambil hanya 3 foto, pertama dengan keadaan telanjang bulat dan wajah yang masih belepotan sperma, aku mengambil gambar dimana aku sedang duduk dan Pak Karso juga duduk di belakang seraya menggenggam kedua buah kemasan susuku dari belakang, dan menaruh dagunya di pundak kiriku. Kedua, foto diambil saat aku berpose mengoral kemaluan Pak Karso, dan terakhir, aku duduk dan buka lebar kedua pahaku sehingga menunjukkan selangkanganku dengan bekas sperma yang sudah mengering di dekat bibir vaginaku dan menyuruh Pak Karso untuk memelukku lagi dari belakang.

 

Hanya iseng sih, tapi cukup untuk mengenang Pak Karso di masa-masa datang, pikirku. Setelah itu, barulah kita tidur. Keesokan paginya, aku membantu Pak Karso mengemas semuanya. Aku pun menemani Pak Karso menunggu bajaj untuk ke terminal. Aku tadi mau mengantar Pak Karso sampai ke terminal, dia bilang tidak usah, tidak mau merepotkan aku untuk yang terakhir kalinya. Jadi, aku cuma bisa mengantar sampai di depan gerbang sekolah.


"Ati-ati, Pak. Jangan lupa, kalau udah sampai kabarin Hana yaa", teriakku takut tidak kedengaran karena kebisingan suara bajaj.

"Iya, neng. Makasih yaa neng Hana".

"Iyaa, Pak. Hati-hati yaa". Aku sadar betul kalau supir bajaj memperhatikanku dengan detail terutama di bagian payudaraku. Aku sadar kalau pasti payudaraku yang memang membusung ke depan  ini seakan begitu 'menantang' bagi supir bajaj apalagi aku tidak memakai bra jadi pasti kedua pucuk susuku tercetak jelas di kaos putihku. Aku memang tidak pernah memakai bra sehabis bercinta dengan Pak Karso, jadi bisa dibilang aku lupa untuk mengenakan braku kembali atau minimal mengenakan cardigan agar kedua daging kenyalku ini tidak terlalu 'menantang' laki-laki.




Hana Lupa Pakai Bra​

Setelah bajaj Pak Karso berlalu, aku pun kembali ke rumah di samping sekolah, aku masuk dengan kunci duplikatku karena kunci yang asli sudah diletakkan Pak Karso di ruang guru. Aku bereskan semuanya dan kusemprotkan minyak wangiku sampai habis karena aroma sex begitu kental tercium di dalam rumah ini. Setelah mengambil beberapa barangku, barulah aku pulang ke rumah, meninggalkan tempat kenangan terindah sekaligus ternakalku selama ini. Aku tidak akan pernah masuk ke dalam rumah itu lagi tanpa Pak Karso. Rumah yang menjadi tempat 'laga' panasku untuk melepas nafsu & hasrat seksualku yang tinggi bersama Pak Karso. Pak Karso pun memberi kabar begitu ia sampai, dan sekali lagi ia meminta maaf karena lebih memilih pulang kampung daripada menemaniku di sini. Ya mau gimana lagi ?.


Setiap seminggu sekali, Pak Karso menelponku. Aku pun mencari tempat tersembunyi karena kami selalu melakukan sex by phone. Tapi memang rasanya tidak sama jika dicabuli langsung oleh Pak Karso. Agar tidak mencurigakan pada pihak SMPku, aku baru mengundurkan diri jadi pelatih paskibra beberapa minggu setelah Pak Karso pergi karena sudah tidak ada alasan lagi bagiku untuk datang ke SMPku. Sudah beberapa minggu, Pak Karso sudah tidak menghubungiku dan aku telpon nomernya juga sudah tidak aktif. Mungkin sudah saatnya aku untuk move on, dan pasti Pak Karso juga bahagia di sana bisa berkumpul lagi dengan keluarganya di kampung.


 Tapi tetap, biarpun sudah setua itu, dia adalah cinta pertamaku, selalu ada tempat untuknya di hatiku. Pejantan lansia yang sudah mengambil kegadisanku, keperawanan mulut & liang anusku sekaligus, tapi sudah mengenalkanku pada kenikmatan dunia yang begitu luar biasa. Juga sudah memberikan warisan padaku berupa tubuhku ini. Bentuk tubuhku yang indah ini sudah pasti adalah hasil kepiawaian tangan tua Pak Karso memijitku dari aku SMP sampai sekarang aku SMA.

 

Tentu seperti saat Pak Karso masih ada, aku akan merawat dan menjaga tubuhku sebagaimana kesukaan pria tua itu. Tanpa bulu ketiak dan rambut kemaluan. Dia mengajarkanku bagaimana seharusnya perempuan merawat tubuh padahal waktu itu aku belum tahu apa-apa. Ya tentu saja dia membantuku merawat tubuh, kan tubuhku ini dilihat dan dipakai oleh dia juga. Selain itu, dia memberiku sebuah ramuan rahasia keluarganya untuk kuminum & kuoleskan pada tubuhku. Ramuan minum yang dapat membuat vaginaku tetap kesat dan tetap sempit seperti saat aku masih gadis. Serta ramuan oles yang dapat mempertahankan bibir vagina dan kedua putingku seperti belum pernah disentuh sekali.


Menurut internet, ketika vagina perempuan sudah sering digenjot oleh penis pria, maka bibir vagina akan tidak elastis lagi dan merekah, dan puting lama kelamaan akan menghitam jika sering diemut-emut. Sepertinya ramuan oles itu berhasil karena bibir kemaluanku nampak rapat seperti saat dulu dan kedua putingku tetap berwarna pink pucat, sama seperti dulu. Padahal sudah puluhan kali atau mungkin lebih, Pak Karso menghujam vaginaku dengan penisnya dan mengempeng pada kedua pucuk susuku.




Tubuh Hana Semakin Menggiurkan​

Aku akan meneruskan semua warisan Pak Karso ini meski aku sudah loss contact dengannya. Hidupku pun berlanjut, memang tidak sama rasanya, hari-hari kulalui begitu saja, hambar. Jalan sana, jalan sini, dengan cowok yang satu, lalu dengan cowok lainnya, untuk menghilangkan rasa sepiku. Tapi tak ada yang kubiarkan menyentuh tubuhku karena entahlah, aku sama sekali tidak bernafsu pada cowok-cowok yang mendekatiku. Padahal bisa dibilang aku seorang nymphomaniac, tapi kenapa rasanya kok nggak nafsu sama sekali, beda waktu sama Pak Karso ? Tanyaku dalam hati dan tak teras, kini aku sudah hampir selesai SMA.

 

"Hana ! Sini !".

"Iya, Mah. Sebentar", jawabku dari dapur saat aku sedang membantu ibu memasak makanan yang akan disajikan di warungnya.

"Ada apa, Mah?".

"Ini ada Ibu Dewi dan Pak Aryo".

"Eh ibu Dewi. Pak Aryo. Apa kabar ?", sapaku ramah. Mereka berdua tetangga rumahku, rumah mereka hanya beda tiga gang kecil dari rumahku. Mereka berdua ini keluarga yang cukup berada. Rumah mereka termasuk besar di lingkungan rtku.

"Aduuh. Makin cantik aja yaa kamu Na", puji Bu Dewi.

"Aah, ibu. Bu Dewi malah yang tetep keliatan muda dan cantik".

"Alah, bisa aja nih kamu".

"Ada apa nih Bu, Pak. Dateng ke sini, nyari saya ?".

"Jelasin, Pah".

"Begini, nak Hana. Kamu tau kan Kakek Wiryo ?".

"Oh iya, Pak. Kenapa ?".

"Ini, kan kita ini sekarang sibuk ngurusin outlet kita di Bandung, jadi sering ke luar kota".

"Iyaa..iyaa, he em".

"Nah Kek Wiryo ini jadi sering sendirian di rumah. Kita berdua takut kenapa-kenapa, jadi kita lagi cari orang buat jagain Kek Wiryo".

"Jadi Pak Aryo mau minta kamu jagain kek Wiryo. Gitu lho, Na", jelas ibuku menambahkan.

"Iya, Dek Hana. Bagaimana ?".

"Hmmm..bukannya saya nggak mau nih, Pak. Tapi kan saya pagi sampai sore sekolah".

"Oh bukan buat sekarang kok, Na".


"Buat nanti bulan depan, soalnya kita lagi mau ada urusan outlet kita sekalian ngurusin kuliah Vina di Bandung. Kita udah berapa kali ganti orang buat jagain kakek, tapi pada nggak betah, soalnya emang Kek Wiryo galak ke orang lain dan nggak suka kalau orang lain yang jagain dia, maunya cuma ama kita . Jadi kita udah kebingungan banget untuk nyari orang", papar Bu Dewi.

"Mm..sebentar..bulan depan..saya libur sih soalnya istirahat sebelum ujian...".

"Nah, pas banget itu..gimana ? Kamu mau nggak ? Cuma bulan depan aja kok ?".

"Mau ya Dek Hana ? Soal makan dan lainnya, biar kita yang sediain dananya. Dek Hana cuma jagain Kek Wiryo aja selama sebulan ?", bujuk Pak Aryo.

"Saya, terserah ibu saya aja. Boleh atau nggak, Bu ?".


"Begini Pak Aryo, Bu Dewi, kita mau nanya dulu ke suami saya, takutnya sama dia nggak boleh, kalau saya sih sebenarnya boleh saja".

"Oh iya, Bu Asih. Kita ngerti, yaudah kita tunggu kabarnya secepatnya ya Hana". Menanggapi permintaan keluarga Pak Aryo itu, aku & ibu pun berbicara ke ayah. Intinya, dia membolehkan aku menjaga Kakek Wiryo, tapi dia mengembalikan lagi keputusan padaku. Ya sudah, kenapa tidak ? Lagian nggak jauh dari rumah, pikirku. Daripada aku libur cuma di rumah saja. Bukannya aku tidak mau di rumah dan membantu ibu berjualan tapi aku memang lebih suka punya suasana dan aktifitas baru jadi aku menyanggupinya. Keesokan harinya, agak siangan, aku pun bertamu ke rumah Pak Aryo.

"Silahkan duduk, Na. Diminum dulu tehnya", jamu Bu Dewi dengan ramah.

"Iya, Bu, terima kasih".

"Jadi gimana, Na ?".


"Saya udah tanya ke ayah saya, dia bilang boleh-boleh saja".

"Wah bagus. Kamunya juga nggak keberatan kan ? Yaa itung-itung kamu bantuin tante ya? ya?", bujuk Bu Dewi sangat persuasif.

"Iya, Bu. Saya bersedia".

"Wah terima kasih sekali, Hana. Jadi lega deh tante. Yaudah kalo gitu, nanti kamu kasih tau Tante ya kapan kamu mulai liburnya".

"Iya, tante".

"Yaudah, sekarang ikut Tante yuk, ketemu Kek Wiryo".

"Pak...kenalin, ini Hana. Dia anaknya Ibu Asih, katanya mau bantu jagain Bapak kalau aku sama Aryo lagi pergi ke luar kota".

"Ah ! Kalian ini, sama sekali tidak mau menjaga bapak yang udah tua begini ??!! Waktu kamu masih kecil, bapak rawat kamu meski sesibuk apapun bapak", bentak Kek Wiryo. Deg ! Seketika jantungku langsung berdetak. Galak banget nih kakek. Aduh, salah gue, bakalan tahan nggak ya?. Pikirku dalam hati. Mau tidak jadi juga gimana, sudah terlanjur mengiyakan.


"Aduh bapak, jangan gitu dong, Pak. Kan kita berdua juga ngurusin usaha keluarga kita, bukan buat senang-senang", tukas Bu Dewi.

"Dasar kalian ! Ya sudah, terserah kalian saja !".

".....", aku hanya diam saja, takut dibentak juga.

"Kamu ! Siapa nama kamu ?!".

"Na..ma sa....saya, Hana, Kek", jawabku gugup ketakutan.

"Hana, anaknya ibu Asih ?".

"I....ya, Kek. Saya anaknya ibu Asih".

"Sudah pernah jadi pengasuh ?".

"Be..belum, Kek".

“Aryo...kamu bagaimana sih ?! Nih anak belum pernah jadi pengasuh tapi kamu suruh jagain Bapak !! Apa-apaan kamu !".

"Pak, semua pengasuh yang pernah Aryo bawa, nyerah. Kita udah bingung cari kemana lagi. Nah kebetulan Hana mau. Dia tinggal dekat sini dan bisa minta tolong bapak atau ibunya kalau ada apa-apa, kan ? Ayo dong, Pak. Kita soalnya mau pergi ke Bandung".

"Hm, dasar kalian ini. Tidak tahu berterima kasih !". Kakek Wiryo langsung meloyor pergi dengan kursi rodanya ke luar.


"Hana...maafin Kek Wiryo ya", ucap Pak Aryo.

"Mm....iya, nggak apa-apa", jantungku masih berdebar. Di dalam keluargaku, tak pernah ada yang berbicara lantang dan marah-marah seperti tadi jadi aku merasa kaget.

"Bagaimana ? Apa kamu yakin jadi jagain, Kek Wiryo ??", tanya Pak Aryo.

"Kalau kamu nggak jadi, nggak apa-apa kok, Na. Kami nggak maksa, nanti biar kami cari dari tempat lain", tambah Bu Dewi. Sebenarnya, kata tidak jadi sudah ingin keluar dari mulutku melihat Kakek Wiryo yang begitu galak bahkan ke anaknya sendiri. Tapi, aku tak tahu, tiba-tiba aku jadi teringat pada Pak Karso. Hmmm, mungkin Kek Wiryo hanya merasa kesepian.

 

Aku tidak tahu bagaimana keluarganya dulu, tapi yang aku lihat dari foto-foto yang ada di rumahnya, nampak kalau Kek Wiryo sangat sayang dengan Pak Aryo dan juga sebaliknya. Foto-foto yang menunjukkan keluarga Kek Wiryo, istrinya, dan anak mereka satu-satunya, yakni Pak Aryo nampak begitu hangat dan saling menyayangi. Mungkin Kek Wiryo merasa kehilangan Pak Aryo sebagai anak kesayangannya. Yah, aku tidak tahu, mungkin itu sindrom orang jika sudah tua, apalagi Kek Wiryo memang sudah ditinggal terlebih dahulu oleh istrinya, sejak 20 tahun lalu dikarenakan penyakit kanker.


"Engh, nggak apa-apa kok, Bu Dewi, Pak Aryo. Hana tetep mau jagain Kek Wiryo...selama Hana masih libur".

"Yang bener kamu, Na ?", wajah Bu Dewi langsung nampak sumringah.

"Iya, Bu. Hana coba buat jaga Kek Wiryo".

"Aduh makasih sekali lho, Hana". Bu Dewi memelukku.

"Ii...yaa, Bu".

"Kamu emang anak baik sekaliii, Hana", ucap Pak Aryo seraya mengusap-usap kepalaku.

"Emh, maaf Pak Aryo. Itu Kek Wiryo memang pakai kursi roda ?".


"Oh itu Kek Wiryo pakai kursi roda karena katanya kakinya cepat gemetar kalau buat berdiri, tapi sebenarnya masih bisa jalan. Kamu tenang saja, Hana".

"I..iya, Pak". Pasti Pak Aryo mengira aku takut kerepotan kalau Kakek Wiryo harus berada di kursi roda, sebenarnya aku berpikir hal yang lain.




Kek Wiryo​

"Jadi kapan kamu libur ?".

"Besok, Bu".

"Oh, pas sekali kalau begitu, kebetulan kita berdua harus berangkatnya besok pagi".

"Oh, iya, Bu".

"Ya sudah, besok pagi, kamu langsung ke sini ya, sebelum jam 10".

"Iya, Pak Aryo". Keesokan harinya, aku datang jam 9an dengan mental yang sudah kusiapkan dari malam. Aku diberikan pelatihan singkat tentang ruangan-ruangan dan perabotan rumah. Dan karena mereka cukup lama perginya, mereka mempercayakanku dengan kartu ATMnya untuk jaga-jaga bila ada keperluan. Aku takut juga memegang kartu ATM orang lain, tapi Pak Aryo dan Ibu Dewi bilang kepadaku bahwa mereka percaya dan memaksaku untuk menyimpannya.

"Bapak...kita pamit dulu ke Bandung....".

"Ya sudah cepat pergi sana ! Tinggalin Bapak sendirian !". Pak Aryo dan Bu Dewi nampak menghela nafas panjang.

"Kalau begitu, saya sama Dewi, pamit dulu, Pak", izin Pak Aryo dan bergantian dengan Bu Dewi mencium tangan Kek Wiryo.

"Pak, ini Hana jangan diomelin. Dia bukan pengasuh yang disewa kayak biasanya. Jadi tolong jangan diomelin ya, Pak".


"Iya iya. Yaudah sana !!".

"Hana, titip Kek Wiryo ya", pamit Pak Aryo dan Bu Dewi.

"Iyaa, Pak". Aku mengantarkan sampai pintu depan rumah. Sebelum masuk mobil, Bu Dewi melihat ke arahku. Mulutnya seperti berbicara namun tak bersuara, "yang kuat ya, Hana". Aku tersenyum dan mengangguk.

"Heeemm", aku menghela nafas setelah menutup pintu, menyiapkan mental lagi.

"Kek Wiryo...mau Hana buatin minuman ?", tanyaku dengan nada riang.

"Buatin Kakek kopi".

"Tapi kata Pak Aryo, Kek Wiryo nggak boleh minum kopi".

"Cerewet kamu, udah cepet, buatin kakek kopi".

"Ii...iya, Kek". Nyaliku langsung ciut. Aku meletakkan kopi yang kubuat di depan meja di ruang keluarga karena Kakek Wiryo sedang asik menonton tv d ruangan ini.

"Kamu tambahin gula ?!".

"Ii..ya, Kek".


"Kalau buatin Kakek kopi, jangan pakai gula. Harus kopi hitam, sana buatin lagi". Dengan sedikit ngedumel, aku berjalan ke dapur dan membuatkan kopi lagi, kali ini kopi hitam.

"Aaahh....ini baru sedaaaap !!!!". Aku tertawa kecil melihat ekspresi Kakek Wiryo yang kelihatan menikmati sekali minum kopinya.

"Kenapa kamu senyum-senyum ??".

"Eng..enggak, Kek". Langsung kupasang poker face dan melihat ke arah tv, takut diomeli lebih lanjut.

"Udah kamu sana...Kakek mau nonton sendiri....".

"Iiya, Kek". Aku pergi dan iseng mencari hal yang bisa dibereskan karena aku sudah terbiasa membereskan rumah. Kulihat sudah jam 12.00 siang, waktunya Kakek Wiryo makan lalu minum obat dan suplemennya. Kumasak menu andalanku, tak akan ada yang bisa menolaknya. Di warung makan ibuku, menuku ini yang paling dicari. Bohong deeh Aku cuma masak ayam goreng, telur dadar, dan kubuat sop sederhana yang bisa cepat jadi.


"Kek...makan dulu".

"Kakek nggak lapar".

"Ayoo, dong Kek. Udah Hana buatin...enak lhooo....", rayuku dengan nada girang.

"Nggak, Kakek nggak lapar !".

"Uhuuhh...henghh...hiikss...hiikss".

"Kenapa kamu nangis ?".

"Hana...udah...janji..jagain Kakek...tapi Hana...nggak bisa apa-apa...Hana bener-bener nggak becus", isak tangisku.

"Haaahh....". Kakek Wiryo menarik nafas panjang.

"Ya sudah sudah, sini makanannya...".

"Yang bener, Kek ?", tanyaku sambil mengelap air mataku.

"Iya, mana sini...".

"Makasih banyak yaa, Kek".

"Iya..iya..mana ?".

"Biar Hana yang suapin...aaa...".

"Udah Kakek mau makan sendiri".

"Tapiii, Kek.....".

"Eeeh..jangan nangiis lagi kamu...ya sudah...Kakek mau disuapin kamu", ujar Kek Wiryo seraya melahap sendok suapan pertama dariku. Aku langsung tersenyum senang. Yesss !!!! Rencanaku berhasil, tak sia-sia aku sering menonton drama Korea. Sekali keluar air mata, langsung luluh hati Kakek Wiryo.


"Minum...minum...". Kakek Wiryo kelihatan tersedak, aku langsung berlari mengambilkan air minum.

"Uuaaahhh.....", Kakek Wiryo setelah menenggak minuman yang kubawa.

"Hana, aduuh gimana kamu ini, Kakek makan nggak dibawain minuman".

"Maaaaf, Kek. Hana kira kopinya masih ada", jawabku dengan wajah memelas.

"Ya sudah. Buatin Kakek, teh hangat".

"Siaaap, Kek !!", jawabku dengan gaya hormat. Aku senyum-senyum sendiri. Hanya dengan sekali pura-pura menangis saja, langsung luluh dan sekarang Kakek Wiryo lebih tenang berbicara padaku.

"Kamu itu Hana....abis nangiis, malah seneng".

"Seneng, Kek. Ngeliat Kakek udah nggak galak sama Hana. Hehehehe".

"Emang ya kamu pintar ngambil hati orang".

"Hana emang jagonya, Kek. Hihihi".

Kulihat senyuman terlukis di wajah Kek Wiryo sebelum beliau menyeruput tehnya. Namaku bukan Hana jika tak bisa mengambil hati orang dalam waktu singkat. Hana gethooo lhooooo. Hehehehe. Kami pun akhirnya mulai mengobrol, acara tv tentang politik jadi tak kami gubris. Beliau bercerita tentang keluarganya dulu. Harmonis dan penuh hangat. Benar dugaanku, Kakek Wiryo hanya merasa kesepian ditinggal istrinya sejak 20 tahun lalu dan ditambah Pak Aryo sudah berkeluarga sekarang dan harus mengurus bisnis keluarga. Makin tak ada lah teman mengobrol Kek Wiryo.

 



Hana Mengobrol Dengan Kek Wiryo​

Aku pun mendengarkan dengan seksama cerita-cerita Kek Wiryo. Tapi aku berani bersumpah, tak jarang aku menangkap kedua matanya curi-curi pandang ke arah payudaraku. Kedua buah payudaraku yang bulat dan membusung ke depan ini memang sangat menarik 'perhatian'. Aku selalu mendapat 'perhatian' di daerah yang satu ini, jadi perasaanku sudah sangat tajam jika ada yang sedang memandangi kedua susu gantungku ini. Pijat Bentuk Tubuh Pak Karso memang benar-benar telah membuat bentuk tubuhku menjadi sensual. Ibu dan teman-teman dekatku yang perempuan di sekolah memuji bentuk tubuhku yang sempurna. Bahkan di sekolah, tak jarang, ketika berganti pakaian di saat jam pelajaran olahraga, aku jadi 'objek grepe' teman-teman perempuan. Begitu aku buka baju, pasti mereka langsung mendekatiku dan berebutan meremas-remas payudaraku.


Hanya untuk bercandaan saja, tak ada yang benar-benar iri denganku sampai memusuhiku, malah mereka mengakui kalau aku cewek terseksi seangkatanku. Hmmmm, apakah dugaanku benar, selain kesepian, Kakek Wiryo juga masih 'memperhatikan' perempuan ?, tanyaku dalam hati. Tiba-tiba darah hangat mengalir di sekujur tubuhku. Damn, penyakitku datang lagi.

Selepas ditinggal Pak Karso, aku tidak pernah berhubungan intim dengan siapa pun. Dan sejak hari itu pula, tubuhku seperti 'menagih' rasa nikmat yang biasa kurasakan setidaknya setiap seminggu sekali sehingga aku pun harus masturbasi untuk menguapkan nafsuku sendiri jika sudah terlalu memenuhi pikiranku. Namun, makin lama, tubuhku semakin sering 'menagih' rasa itu, aku jadi sering masturbasi. Mungkinkah rasa 'ekstasi' itu harus kudapatkan dengan lawan jenis, tak bisa hanya dengan memuaskan diri sendiri ?, pertanyaan dalam hatiku yang terus kupendam karena aku tak bisa mencari pria seperti Pak Karso. Namun........ Pikiran gilaku terbesit cepat.


"Kek...Hana cuci piring dulu ya".

"Iya, sana...". Ya, aku memang perempuan, masih ABG berumur 18 tahun. Dan ya, banyak yang mengakui kalau wajah dan bentuk tubuhku sangat menarik. Mungkin lebih umum, kalau pria-pria lah yang berfantasi denganku, bisa melihat aku bugil, merabai tubuhku, dan bersenggama denganku. Namun, ini malah kebalikannya. Saat ini, pikiranku berpolusikan hal-hal mesum dan jorok bersama Kakek Wiryo. Aku yang masih remaja ini, berfantasi kalau aku akan disenggamai oleh seorang pria tua seperti Kakek Wiryo. Ah, gila ! Aku yakin tak ada ABG seumuran denganku yang mempunyai fantasi seperti ini, aku memang sakit, benar-benar sakit, pikirku di sela-sela fantasiku.


"Kakek Wiryo biasa mandi jam berapa ?".

"Biasanya jam segini".

"Oh, kalau gitu Hana siapin dulu ya".

"Air hangat ya !".

"Siiaaap, Kek". Air hangat dalam bathtub pun sudah siap.

"Udah siap, Kek".

"Oke. Bantuin Kakek, Hana".

"Iyaaaa, Kek". Aku membantu Kek Wiryo duduk di kursi rodanya dan mengantarnya ke kamar.

"Maaf ya, Kek. Hana bantu buka bajunya ya".

"Iya, tolong ya, Hana....". Badan tua Kakek Wiryo yang sudah keriput pun terpampang di depan mataku, beserta 'senapan' veterannya yang juga nampak sudah 'usang'. Aku membantu Kakek Wiryo masuk ke dalam bathtub dan juga menyabuni badannya. Jantungku memompa darah hangat lagi dan kian cepat saat aku mulai menyabuni bagian selangkangan Kakek Wiryo. Sedikit bisa kurasakan, 'perkakas' Kek Wiryo mulai bereaksi terhadap sentuhanku saat menyabuninya. Hm, nampaknya masih normal, ujarku sedikit nakal dalam hati. Kakek Wiryo nampak menutup matanya dan sedikit terlihat menikmati belaian tanganku di selangkangannya.

 



  Hana Memandikan Kek Wiryo​

Selesai membantu Kakek Wiryo mandi, kami berdua keluar. AC yang ada, kumatikan dulu takut Kakek Wiryo kedinginan, sebelumnya sudah kututup jendela dan hordengnya. Kududukkan Kek Wiryo di pinggir tempat tidur.

"Kek mau pakai baju yang manaa??", tanyaku sambil membuka lemari.

"Hana....sebentar....sini", balas Kek Wiryo memanggilku.

"Ada apa, Kek ?". Aku duduk di sampingnya.

"Kakek mau minta tolong sesuatu".

"Minta tolong apa, Kek ?".

"Sebentar.....". Kakek Wiryo berbisik di telingaku. Aku sedikit kaget dengan permintaan Kek Wiryo.

"Tapii, Kek.....".

"Tolong, Hana. Kakek sudah lama tidak bisa ngelakuinnya sendiri".

"Emmmm....".

"Kali ini saja, Hana...tolong Kakek. Kakek ngerasa nggak nyaman....".

"Hemmm....tapi ada syaratnya, Kek".

"Apa syaratnya ??".

"Kakek nggak boleh lagi galak ke Hana".

"Iya pasti, Hana".

"Bener ?? Janjiii ????".

"Bener, Kakek janji".

"Awas ya kalau bohong", jawabku dengan muka agak galak.

"Iyaa".

"Kalau gitu, Hana siiaap bantuu". Aku pun bersimpuh di depan Kek Wiryo.


"Emang masih bisa, Kek ??".

"Makanya Kakek ingin tahu, kalau Kakek sendiri tidak bisa kayak dulu".

"Terus emangnya kalau Hana, udah pasti jadi bisa ?".

"Wajah kamu itu cantik sekali, jadi mungkin bisa membantu", jawab Kek Wiryo mulai merayu.

"Duuuh, Kek Wiryo. Hana pake digombalin segala. Yaudah, Hana mulai yaa". Tanganku mulai membelai 'belalai' Kakek Wiryo. Kuberikan sentuhan dan belaian lembut berkali-kali, kupijit-pijit lembut kantung zakarnya yang sudah keriput sambil sesekali kuelus-elus leher penis Kek Wiryo. Ya, permintaan Kakek Wiryo tadi adalah untuk membangkitkan penisnya dan membantunya kalau bisa sampai isinya keluar.


"Eemmmmmmm", Kek Wiryo menutup matanya, dia kelihatan meresapi sekali sentuhanku pada daerah kejantanannya. Kuyakin, banyak teman pria di sekolah yang membayangkanku melakukan ini terhadap mereka, tapi malah selangkangan pria uzur seperti Pak Karso dan Kakek Wiryo yang kubelai dengan tanganku. Kakek Wiryo memajukan pinggulnya sehingga aku semakin leluasa memberikan 'perawatan' pada 'peliharaannya'.


"Kakek minta diginiin cuma sama Hana aja, apa perawat-perawat sebelumnya ?", tanyaku penasaran seraya mulai mengocok perlahan penis Kakek Wiryo yang sudah setengah bangun sehingga lebih mudah kugenggam.

"cuma sama kamu saja...".

"Kenapa, Kek ?".

"Kakek malu minta dibeginikan sama yang lain....".

"Terus kenapa sama Hana nggak maluu ?", tanyaku sedikit meledek Kek Wiryo.

"Kakek nggak tau....".

"Heeem...si Kek Wiryo..curang...nggak mau ngasih tau...yaudah, Hana udahan ah".

"Jangan, Hana...", dia menahan tanganku dan menggerakkan tanganku untuk mengocok batang kemaluannya lagi.


"Makanyaa, Kakek ceritaa doong". Hihihi, gue kira galak banget, eh bisa dikerjain ternyata, ujarku dalam hati. Padahal, dia tidak tahu kalau aku membantunya dengan senang hati, bahkan jika diminta untuk mengulum kemaluannya, aku pun tak akan ragu melakukannya.

"Yaa, kalau yang lain, orang asing, Kakek malu memintanya dan takut dituduh melakukan pelecehan seksual. Kalau kamu, Kakek tahu keluarga kamu dan kamu anak baik-baik...Kakek tahu kamu pasti mau bantu Kakek".

"Sekarang dibilang anak baik-baik, dari tadi diomelin terusss....", dumelku sekalian curcol.

"Maafin, Kakek ya, Hana. Makin tua, Kakek ngerasa makin kesepian, dan si Aryo sama Dewi juga makin sibuk. Rasanya Kakek frustasi sekali, jadinya Kakek gampang marah".


"Oooh, begituu tooh".

"Iya, nah hari ini, gara-gara kamu, Kakek ngerasa ada temen lagi buat ngobrol. Beda sama orang lain yang ngasuh Kakek. Kakek ngerasa cepet deket sama kamu".

"Hanaa gituuu looohhh", klaimku.

"Iyaa, kamu emang hebat ngambil hati orang". Aku tersenyum manis mendengar pujian Kakek Wiryo sambil terus memainkan batangnya dengan tanganku. Momen sunyi pun tercipta, Kakek Wiryo hanya menutup matanya, aku tetap fokus menaik-turunkan tanganku pada batang kejantanannya. Uhh, pegel juga.

"Tangan Hana pegel, Kek". Lumayan lama aku mengocoknya, tapi agak lembek.

"Maaf, Hana. Sepertinya Kakek, memang sudah nggak bisa". Pikiran nakalku langsung mengambil alih. Tanpa bilang apa-apa, aku langsung membuka mulutku.

"Heemppphh...cllpp...clllpp". Aku mulai mengulum batang kejantanan Kek Wiryo. Kepalaku maju mundur, bibirku menjepit erat penis Kakek Wiryo untuk mengurutnya dengan mulutku ini.


"Aaaaahhhh.....Hanaa....hhhh....kamuuu...hhhhhh", Kek Wiryo melirih keenakan. Lidahku juga sudah kugunakan untuk membelai 'tongkat tua'nya tanpa ampun. Ini adalah 'sosis veteran' kedua yang sudah ku'santap', tentu yang pertama adalah Pak Karso. Mengingat itu, aku jadi membayangkan sedang 'berkaraoke' di selangkangan Pak Karso. Aku jadi makin bernafsu. Lidahku menjalari selangkangan Kek Wiryo. Lubang kencingnya kukilik sampai dia menggelinjang kegelian, kepala penisnya yang sensitif kujilati sampai basah berlumuran air liurku. Batangnya yang sudah mulai lebih keras dari sebelumnya, kujilati ke atas-bawah, dan kembali lagi seperti sedang menjilati eskrim batang. Biji zakarnya yang terbungkus kandung kemihnya pun kuemut-emut bergantian, pangkal paha dan lipatan antara batang dan kandung kemihnya, kuberi kecupan-kecupan bertubi sebelum kujilati dengan lidahku.


"Mmmmmhhhh...dikit lagiii....Hanaaa.....teruuussshhhhh". Aku pun mulai menghisap lagi batangnya. Kepalaku semakin cepat maju-mundur untuk mengocok penisnya dengan mulutku.

"HAANAAA !!!! AAAKKKHHHHH !!!!!!", Kek Wiryo memegangi kepalaku. Pratices makes perfect. Sudah puluhan atau mungkin ratusan kali, Pak Karso berejakulasi di dalam mulutku sehingga aku tidak panik dan bisa mengatur nafasku untuk bersiap menerima tumpahan lahar putih Kek Wiryo dalam mulutku sehingga aku tidak tersedak sperma. Dan akhirnya.

"OOOKKHHHHH !!!! Crrrtttt cccrrrrrrtttt". Sudah mulai kurasakan rasa sperma di rongga mulutku, sepertinya Kakek Wiryo sudah mulai membuka 'selang' spermanya. Tentu mulutku dalam keadaan terbuka karena terganjal dengan batang penis Kakek Wiryo di mulutku. Kutunggu dengan sabar sampai sperma yang keluar dari  'keran' Kek Wiryo habis. Cukup mengejutkanku, ternyata jumlah semburannya cukup melimpah sampai ada yang mengalir keluar dari sela-sela bibirku. Spontan, aku menengadahkan tangan untuk menampung tetesan sperma dari daguku. Dan sebagian spermanya, ada yang sudah ketelan karena saking penuhnya mulutku. Terlukis perasaan lega, lelah, sekaligus heran di wajah Kek Wiryo. Dia memandangku, aku tersenyum sebisanya dan mulai melakukan 'sweeping' untuk membersihkan 'perkakas' Kek Wiryo dari lelehan kentalnya.




  Hana Icip 'Sari' Kek Wiryo​

“Hana...hhhheehhhhh.....kamuuhhhh.....", nafasnya sangat tersengal-sengal, namun dia berhenti berkata-kata saat kubuka mulutku dan kutunjukkan mulutku yang menampung spermanya yang banyak itu.

"Gleeeekkkkk !!!!", dengan sekali tegukan aku menelan seluruh spermanya dan menunjukkan ke Kakek Wiryo kalau aku benar-benar menelan spermanya. Lalu aku mulai menjilati tangan kiriku yang tadi belepotan air mani Kek Wiryo yang meleleh keluar dari sela bibirku.

"Hana....kamu....", nafas Kek Wiryo kelihatan mulai teratur.

"Kenapa, Kek ?", tanyaku seolah biasa saja, padahal aku sedang asik menjilati tangan kiriku yang berlumuran lahar putih si kakek tua kesepian ini.

"Kenapa kamu tiba-tiba....ngulum punya Kakek ?", tanyanya sambil terus berusaha mengatur nafas.

"Habis....pake tangan, nggak udah-udah juga. Pegel, Kek", jawabku simpel yang nampaknya cukup membuat Kek Wiryo kaget.

"Sebentar, Kek". Kutinggalkan Kek Wiryo dengan ekspresi wajahnya yang bingung namun kelihatan puas sekali. Aku hanya membasuh tangan dengan air & sabun cuci tangan.


Rasa sperma Kakek Wiryo membekas di tenggorokanku. Mungkin karena begitu banyak, kental, dan rasanya yang amis namun gurih membuatku setiap menelan ludah, aku masih bisa merasakan rasa sperma Kek Wiryo di kerongkonganku.

"Gimana, Kek ? Udah seger kan ?", tanyaku sedikit menggoda.

"Terima kasih, Hana. Huuuhhhffff hheeeehhhmm".

"Yaudah, sekarang Kek Wiryo pake baju dulu yaa. Ntar masuk angin lhooo". Aku pakaikan baju dan celananya. Wajahnya kelihatan lebih ramah dari pertama kulihat. Ya iyalah, awas saja kalau tidak ramah, sudah kubantu untuk melepaskan 'tegangan'nya, bahkan sampai menggunakan mulutku.

"Eee...Hana...kamu sudah pernah ya kayak tadi ?". Aku jadi bingung menjawabnya.

"Ehmm...maksudnya gimana, Kek ?".

"Yaa...ngulum kemaluan cowok ?". Aku langsung merasa deg-degan, kalau ketahuan dan Kakek Wiryo melaporkan pada orang tuaku bisa runyam urusannya.


"Mmmmm......". Aku langsung menggigit bibir bawahku dan menunduk, aku merasa malu.

"Hmmm...nggak nyangka....Kakek kira kamu baik-baik....tapi wajar sih, muka cantik kayak kamu, mana ada cowok yang tahan....".

"Jangan bilang ke orang tua Hana, Kek...Hana minta toloong banget", ujarku pelan sambil mengiba kepadanya.

"Nggak lah, Hana. Tadi kamu udah bantuin, Kakek".

"Makasiiih, Kek....", aku pun memeluk Kakek Wiryo.

"Tapi boleh nggak, Kakek minta tolong satuuu lagiii...".

"Apa, Kek ?".

"Boleh Kakek liat payudara kamu ?", tanya Kek Wiryo semakin berani padaku.

"Sebenarnya pas di ruang nonton, Kakek juga udah ngeliatin terus kan ?", godaku memancingnya.

"Kamu ngeliat ya ? Maaf, Hana. Kakek cuma kagum sama dada kamu. Bagus banget bentuknya".

"Ah Kek Wiryo...nakaal niih", keluhku genit.

"Jadi boleh ?". Darahku berdesir, semakin menghangat mengalir di sekujur tubuhku. Ooh, jantungku kembali berdegup kencang. Tubuhku kian menghangat. Obrolan-obrolan yang mulai cenderung mesum dengan Kakek Wiryo kian membangkitkan gairah seksualku yang sudah lama terkubur dalam tubuhku. Gairah seksual menyimpangku sudah terpancing keluar. Lama sudah tak merasakan sentuhan Pak Karso, pria 'kadaluarsa' yang pertama kali menyentuh tubuhku, kini tubuhku seperti mengirim pesan ke otakku untuk memancing Kakek Wiryo menggerayangi tubuhku.


"Apapun....untuk Kek Wiryo......", bisikku agak mendesah. Aku langsung melepaskan kaosku sehingga tinggal bra berukuran 36C yang menutupi kedua buah daging kembarku dari pandangan kedua mata Kek Wiryo. Aku bisa melihat, kedua matanya begitu fokus terpusat pada payudaraku. Aku merasa begitu seksi dipandangi seperti ini. Tanpa diminta, aku melepaskan kaitan bhku, kedua susu kembarku pun langsung meloncat keluar dari pembungkusnya. Mungkin wajahku agak memerah, namun aku merasa begitu terangsang sekali saat ini melihat Kakek Wiryo yang nampak benar-benar tercengang dan tidak mau mengedip sedetik pun demi terus memandangi kedua buah dadaku. Tanpa sadar, aku tersenyum nakal merasa puas, seksi, dan terangsang di waktu yang bersamaan karena sedang mempertontokan kedua buah gunung kembarku ke Kakek Wiryo yang sudah berumur 71 tahun ini. Nampak Kakek Wiryo meneguk ludah.

"Hana.....dada kamu....benar-benar..baguss.....", pujinya seraya memperhatikan dengan seksama kedua payudaraku yang dekat dengan wajahnya.




  Daging Kembar Hana​

“Boleh Kakek...sentuh ?". Aku mengangguk malu-malu. Heemmmm.... Darahku berdesir, tubuhku langsung bergetar sedikit merinding ketika tangan keriput Kakek Wiryo mulai bersentuhan dengan permukaan kulit payudaraku. Sudah cukup lama, buah dadaku disentuh pria berumur lebih dari cukup, sejak ditinggal Pak Karso. Tangan Kek Wiryo seperti menimbang-nimbang payudara kanan dan kiriku bergantian.

"Bulet dan bener-bener padat berisi.....", komentarnya sebelum mulai menggunakan kedua tangannya untuk meraba-raba payudaraku. Dia menimbang-nimbang payudaraku. Diangkat sedikit lalu dibiarkan terjatuh, dielus-elus kulit permukaan kedua susu gantungku. Aku mulai merasakan tubuhku semakin menghangat. Gila !!! tubuhku bereaksi cepat kalau disentuh pria-pria 'expired'. Aku mulai terangsang, padahal Kakek Wiryo bisa dibilang, baru kukenal. Ah memang aku ini abnormal.


"Boleh ya, Kakek pegang ?". Pada titik ini, mana bisa aku menolaknya, aku langsung mengangguk, mengiyakan. Kakek Wiryo langsung menggenggam kedua buah dadaku dan mulai meremas-remas lembut. Aku benar-benar menggila.

"Kamu suka ya, Kakek gerayangin ?". Aku malu untuk menjawabnya, tapi pasti dia tahu kalau aku menyukainya. Mungkin Kakek Wiryo bingung mengapa gadis belia sepertiku merasa terangsang ketika digrayangi pria tua sepertinya.

"Kek....", aku sedikit memekik kaget karena tiba-tiba Kakek Wiryo membenamkan wajahnya di antara kedua 'kemasan susu' kembar milikku.

"Maaf, Hana...Kakek tidak tahan". Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Aku arahkan lagi wajahnya ke payudaraku, aku ingin memberi tahu kalau aku cuma kaget, tidak apa-apa kalau ingin 'tidur' di atas payudaraku. Kali ini si Kakek tua ini kelihatan sangat nyaman menempelkan wajahnya ke belahan payudaraku bahkan sampai menggosok-gosokkan wajahnya ke permukaan payudaraku. Kadang Kakek Wiryo menarik nafas-nafas dalam seolah aroma tubuhku adalah angin segar baginya.


"Badan kamu harum...". Aku membalasnya dengan mengelus-elus kepalanya. Dia mulai meraba-raba payudaraku lagi. Kedua daging kembarku kembali diremas-remas olehnya, dan sesekali dia memilin kedua putingku secara bersamaan maupun bergantian. Beberapa kali dia menatap kedua mataku, aku pun tersenyum. Mungkin dia ingin mengecek apakah aku benar-benar membiarkannya 'bermain-main' dengan payudaraku dengan senang hati atau terpaksa.

"Dada kamu bener-bener padet berisi, Hana", pujinya lagi.

"Ah, Kakek...bisa aja", jawabku manja.

"Boleh ya Kakek cium sedikit ?", tanyanya. Aku jadi bingung menjawabnya. Biasanya dengan Pak Karso, kedua 'susu' ranumku langsung dicaplok, tak perlu meminta izin terlebih dahulu. Jawabanku hanya mengangguk sedikit.

"Cupph". Ciuman lembut pun mendarat di permukaan payudara kananku. Melihatku yang tidak memberikan respon negatif, Kek Wiryo pun melanjutkan dengan menciumi seluruh permukaan kedua buah payudaraku.

"Eeemhhhhh.....Kekkhh.....", lirihku pelan ketika Kek Wiryo mulai mengemut puting kiriku selagi memelintir lembut puting kananku. Kedua 'pucuk' payudaraku yang kian mengeras karena terangsang tentu membuatnya semakin sensitif sehingga aku merasakan geli nikmat yang merangsang. Aku tahu, pastilah Kek Wiryo sudah lama tidak menggrayangi tubuh seorang perempuan sehingga dia begitu geragasan saat bisa bermain-main dengan kedua buah payudaraku yang masih ranum dan masih berkembang. Yah meskipun banyak temanku yang bilang kalau kedua buah payudaraku sudah sangat 'matang' untuk gadis seusiaku. Keadaan pun semakin memanas antara aku, seorang gadis SMA yang sering dibilang cewek tercantik di sekolahku, dengan Kakek Wiryo, seorang kakek tua pemarah yang kesepian di umurnya yang sudah berkepala 7.


Buah dadaku bagai 'hidangan' lezat untuk Kek Wiryo, di 'santap' habis-habisan hingga basah kuyup dengan liurnya. Aku menggeliat-geliat keenakan dan mendesah manja menerima ciuman bertubi-tubi serta sapuan lidahnya di kedua 'susu kembar'ku. Tangannya pun mulai menjelajahi tubuhku lebih lanjut. Dia bergerak menuju satu 'tempat bermain' bagi pria dewasa yang satu lagi ada pada tubuhku. Dan celana serta cdku adalah penghalangnya.

"KAKEK !!!", bentakku. Dia langsung berhenti dan menjauhkan tangannya dari pinggangku, dan mendadak berhenti dan menjauhkan mulutnya dari kedua payudaraku.

"Ma...maaf, Hana...Kakek lupa diri". Dia kelihatan gugup dan takut mendengarku membentaknya. Agak tak sopan tapi apa boleh buat.

Aku tak menjawab, ku berjalan ke arah pintu.

"Ckkllk". Aku lihat Kek Wiryo masih duduk di tepi ranjang sambil menunduk. Tak disangka, kakek yang pemarah ini kelihatan begitu ketakutan karena kubentak. Aku naik ke atas tempat tidur dan kupeluk dia dari belakang, kutempelkan erat kedua payudaraku ke punggungnya.


"Kakek mau lihat Hana telanjang ?", bisikku nakal di kupingnya. Dia langsung menoleh ke belakang, memandangku seakan tak percaya kata-kata yang baru kubisikkan barusan.

"Bukannya kamu...marah ?".

"Maaf Kek, Hana bentak Kakek tadi. Supaya Hana bisa kunci pintu dulu".

"Kamu..Hana...kan tinggal bilang....", ujarnya seperti lega karena aku tidak marah. Aku tahu pasti Kakek Wiryo tadi ingin merangsangku lebih lanjut karena dia bertaruh dengan dirinya sendiri kalau aku lebih terangsang, mungkin dia akan beruntung bisa menggumuli gadis muda sepertiku tapi tiba-tiba kubentak tadi, makanya dia ketakutan dan sekarang begitu lega karena tahu kalau aku sebenarnya tidak marah.

"Nggak...Hana mau bales Kek Wiryo..udah bentak-bentak Hana", candaku usil.

"Kamu yaaa.....".

"Jadi gimana ?".

"Kalau boleh sih, Hana....". Aku tersenyum seraya agak mundur ke belakang. Kuberikan sedikit tontonan untuk membuat suasana semakin 'hangat'. Aku bergerak perlahan seraya sedikit berjoget agak sensual saat mulai melepaskan celanaku, potongan pakaian yang tersisa menempel di tubuh ranumku. Mata Kek Wiryo benar-benar terpaku pada aksiku, mungkin berkedip pun ia tak mau karena takut melewatkan momen saat daerah intimku bisa terlihat olehnya. Aku pun sengaja menggunakan tanganku untuk menutupi 'kawasan surga lelaki' milikku. Dia kelihatan begitu penasaran. Aku pun tersenyum. Tubuhku benar-benar terasa panas seperti terbakar karena sudah lama aku tidak bertelanjang di depan pria tua seperti sekarang sejak ditinggal Pak Karso. Aku mendekat lagi ke Kek Wiryo yang kelihatan terpana memandangi tubuhku yang sudah tak terbalut apapun.




Hana Berdiri Bugil​

“Boleh Kakek....lihat...?". Aku hanya mengangguk. Dengan perlahan, dia membuka kedua tanganku yang menghalanginya untuk bisa memandangi daerah pribadiku seperti orang yang deg-degan akan membuka peti harta karun. Tanganku pun sudah terbuka, pangkal pahaku dan sekitarnya pun pasti terpampang jelas di depan mata Kek Wiryo. Dia terdiam, nampak seperti orang yang terkagum-kagum dan menelan ludah. Matanya terpaku dan terfokus memandangi daerah intimku. Aku merasa semakin panas dan malu bersamaan merasakan pandangan mata Kek Wiryo yang tak mau lepas dari kemaluanku.

"Hana....kamu....benar-benar...luar biasa...".

"Udaahhh...Kek...Hana maluuu.....". Aku berusaha menutupi pangkal pahaku lagi dengan kedua tanganku tapi ditahan oleh Kek Wiryo.

"Kamu ngerawat badan kamu tiap hari ya?".

"I..yaahh, Kekhh....". Tanpa minta izin, dia membenamkan wajahnya ke selangkanganku.

"Aahh....", aku sedikit menggelinjang merasakan tekanan hidungnya pada belahan vaginaku, belum lagi hembusan dan tarikan nafasnya yang sangat intens menggelitik daerah intimku secara perlahan namun pasti. Kek Wiryo seperti sedang sungguh menikmati aroma dari daerah pribadiku.


"Aaaaahhhhh......", tubuhku langsung bergetar. Rasa basahpun seketika menerpa belahan bibir vaginaku. Pastilah Kek Wiryo mulai menjelajahi selangkanganku dengan lidahnya. Dan seketika momen itu juga, aku dan tubuhku berserah diri ke Kakek Wiryo yang artinya aku secara mental sudah mengakui kalau 'kepemilikan' terhadap tubuhku sudah berpindah tangan dari Pak Karso ke Kakek Wiryo. Sekarang cuma Kek Wiryo yang dapat mendulang kenikmatan dari tubuhku sesukanya, kapanpun dan dimanapun ia mau.

"Aaahhh.....eeeemhhhhh.....". Aku menggelinjang dan tubuhku berkedut-kedut menerima 'serangan' dari lidah Kek Wiryo pada kemaluanku. Jadilah aku berdiri dengan menyerahkan daerah pribadiku pada kakek tua yang ada di depanku ini untuk digelitiki dengan menggunakan lidahnya. Daerah tubuhku yang paling intim ini sejatinya hanya bisa dilihat, diraba, disentuh dan dinikmati oleh satu-satunya pria yang pernah memilikiku yakni Pak Karso. Namun, kini sekarang pria tua yang sedang menyantap vaginaku dengan nafsunya bukanlah Pak Karso melainkan Kek Wiryo, kakek tua yang merupakan tetangga di komplek rumahku. Benar-benar hal yang sangat tabu dan berbahaya.

Aku akui kalau aku mempunyai kelainan seks yakni merasa bergairah dan menginginkan disetubuhi oleh pria-pria lanjut usia. Tapi sekarang aku melakukannya dengan tetanggaku dimana mungkin bisa saja ada orang lain yang melihatnya dan melaporkannya ke orang tuaku. Bisa jadi runyam keadaannya nanti jika benar terjadi demikian. Tapi...... Benar dugaanku, dugaanku yang lain tentunya. Aku tak kuasa menolak kenikmatan dan rangsangan yang begitu hebat dari pikiranku yang memikirkan kalau tubuhku sedang dimanipulasi oleh seorang pria tua.


"Aaahhhhh......iyaaaa....keeeekkkhhh...di...situu.......hhhhhhh", lirihku keenakan sambil menggelinjang terus menerus. Disemangati seperti itu tentu membuat Kek Wiryo semakin beringas mengacak-acak selangkanganku. Kurasakan kenikmatan yang kurasakan semakin memuncak. Aku tak bisa lagi menahannya.

"Aaahh Keeekkkhhh. Mmmmmhhhhhh !!!!! UMMMHHHHHHH !!!!!!!". Aku menahan kepala Kek Wiryo dan menekannya ke pangkal pahaku dengan refleks. Agak tak sopan memang tapi sepertinya Kek Wiryo malah semakin semangat menyantap daerah pribadiku. Lenguhan serta desahan kenikmatanku menandakan kalau aku sedang keenakan yang begitu dahsyat. Ini kali kedua atau mungkin lebih tepatnya orang kedua yang mengusik vaginaku dengan lidahnya. Kalau dengan Pak Karso, pernah selangkanganku 'dijajah' olehnya selama satu jam non stop hingga aku meminta ampun karena hampir lemas tak berdaya. Penjaga sekolahku yang sudah tua itu nemang tahu benar cara 'menggunakan' daerah intimku dengan benar. Ah, betapa ku rindu dia. Tubuh beliaku yang ranum ini pun seperti mengharapkan belaiannya lagi. Cinta pertamaku sekaligus pengambil keperawananku yang mengenalkanku pada surga dunia yang begitu luar biasa.

 

Tentu tak wajar, aku yang di daulat sebagai bunga sekolah di SMA ku sekarang karena kecantikan wajahku dan keseksian tubuhku, merindukan ketika sedang digumuli penjaga sekolahku ketika masih SMP yang mana usianya sudah tingkat lanjut. Tapi itu masa lalu, sekarang di hadapanku, ada seorang kakek tua juga yang sedang asik mengulik kemaluanku dengan bersemangat. Aku sudah memantapkan hati kalau Kakek Wiryo menggantikan posisi Pak Karso, mengisi lubang di hatiku dan kepemilikan tubuhku akan balik nama ke Kek Wiryo. Akan kugunakan tubuh beliaku untuk mengobati kerinduan Kek Wiryo terhadap tubuh seorang perempuan. Payudaraku bisa diremas, dicubit, diemut, dicupang, atau bahkan digigit olehnya. Pantatku bisa dicolok, ditampar, atau diciumi sesukanya. Apalagi selangkanganku, ia bisa melakukan apa saja terhadap bagianku yang paling intim itu. Pokoknya mulai saat ini, aku menyerahkan tubuhku sepenuhnya untuk Kakek Wiryo.

"KEEEKHHHH !!!!!!! UMMMMHHHHHHHHH !!!!!!!". Kurasakan kenikmatanku memuncak dan akhirnya kulepaskan dorongan kenikmatan itu. Kurasakan cairanku meleleh keluar dari sela bibir vaginaku.

"Ssrrrppphhh ssllrrrrppp", bunyi seruput kencang terdengar dari bawah sana. Tubuhku berkedut-kedut seiring liang senggamaku yang terus mengucurkan 'sari'nya dengan sedikit jeda waktu seakan liang kemaluanku merasa 'lepas' karena akhirnya kembali tersentuh oleh lidah seorang pria tua. Dan liang senggamaku mengucapkan terima kasih dengan melelehkan 'kuah'nya cukup banyak untuk memuaskan dahaga pria tua yang sedang 'mengkokop' vaginaku.


"Hhhh....hhmmmm....", aku mengatur nafasku seraya sedikit menggelinjang karena Kek Wiryo masih asik 'menggelitiki' kemaluanku dengan lidahnya. Akhirnya tak lama, Kek Wiryo menghentikan gerakan nakal lidahnya mencolek-colek belahan bibir vaginaku.

" Hana....vagina kamu....rasanya gurih....manis....", pujinya. Tak tahu harus bilang apa, aku cuma tersenyum dan sedikit merasa malu. Pak Karso memang juga sering bilang sih kalau 'sari' alat kelaminku rasanya gurih dan manis. Aku tentu tak tahu rasanya bagaimana meski cairan kewanitaanku yang merupakan 'minuman' favorit Pak Karso dan sebentar lagi mungkin Kek Wiryo juga itu berasal dari dalam tubuhku.

Pak Karso bilang kalau makanan yang kumakan mempengaruhi cairan yang keluar dari alat kelamin, sama halnya dengan laki-laki. Lelehan sperma Pak Karso yang sangat kusukai karena rasanya gurih itu disebabkan Pak Karso yang sering memakan buah-buahan dan sayuran.

“kamu benar-benar bidadari, Hana…”, ujarnya seraya memandangi area kewanitaanku yang berlumuran liurnya.




Celah Sempit Hana yang Hangat​

Aku hanya tersenyum manja kepada Kek Wiryo.

“setelah puluhan tahun, Kakek bisa merasakan lagi aroma selangkangan perempuan…dan Kakek beruntung…vagina pertama setelah sekian lama itu punya gadis cantik kayak kamu dan benar-benar wangi terawat”.

“Kakek…suka?”, tanyaku dengan berjongkok di depannya.

“suka sekali…bahkan akan jadi kenangan terindah Kakek sebelum meninggal...”.

“eh jangan gitu, Kek….”.

“ya namanya udah tua, Hana….pasti dikit lagi umur Kakek….”.

“iihh..Kakek jangan gitu….”, kupeluk dia.

“tadinya Kakek kira bakal meninggal dalam keadaan kesepian…tapi berkat kamu, sekarang Kakek nggak ada penyesalan lagi”, balasnya memelukku sambil tangannya menelusuri punggungku bawah untuk meraih dan menggenggam kedua bongkah pantatku.

“Hana tau...biar Kek Wiryo semangat lagi…gimana kalo...”, aku mendekatkan bibirku ke telinga kiri Kek Wiryo.

“mulai hari ini…Hana bakal jadi pelayan seks pribadi Kek Wiryo…”.

“maksud kamu?”.

“iya….tubuh Hana ini…jadi milik Kek Wiryo sepenuhnya…boleh diapain aja…boleh digerayangin kapan aja…dan boleh Kakek pake sepuas Kek Wiryo?”.

“yang bener kamu, Hana?”, matanya seperti mau meloncat keluar dengan senyuman sumringah serta cahaya wajah yang kembali terpancar.

“hihihi…masa Hana boong....Kakek udah nyeruput air dari vagina Hana...Hana juga udah nenggak peju Kakek...masa masih bercanda….”.


“iyaa juga ya…hehehe…”.

“naah gitu dong…ketawa lagi….”.

“tapi Hana...Kakek mau tanya satu lagi?”.

“tanya apa, Kek?”.

“apa kakek juga boleh tidurin kamu?”.

“maksud Kek Wiryo ini?”, tanyaku sambil membuat gerakan isyarat telunjuk yang keluar masuk tanganku satu lagi yang membentuk huruf O.

“ii…ya, Hana....jujur Kakek bener-bener udah rindu rasanya hangatnya tubuh perempuan…”.

“sekarang juga hayukkk…”, bisikku nakal.

“sebenarnya Kakek udah gregetan pengen gelut sama kamu…tapi…”, Kek Wiryo memandangi penisnya yang sama sekali tidak bereaksi. Mungkin hanya sekali dalam satu waktu.

“hmm….cuma bisa satu kali keluar ya…”.

“iya, Hana…nafsu Kakek anak muda…tapi biologis orang tua udah nggak memungkinkan…”.

“tenang…ada Hana di sini…”, ujarku sombong.

“berarti misi pertama Hana sebagai pelayan nafsu Kek Wiryo…ngembaliin stamina Kek Wiryo…”, ucapku.

“emang bisa kamu, Hana?”.

“tenang aja Kek, serahin semuanya ke Hana….hehehe”.

“kalau gitu sekarang Hana temenin Kakek tidur aja yaa…”.

“asiikk….emang hoki Kakek belom habis…hehehe”.

“yuukk, Kek…eh iya, Kakek maunya Hana pakai baju atau bugil gini aja?”, tanyaku dengan menggigit bibir bawahku.

“Kakek belom pernah seumur-umur ditemenin tidur sama cewek cantik yang nggak pake baju sih…”.


“oke, sesuai keinginanan tuanku yang mesum…hihihi”. Aku pun mengantarkan Kek Wiryo dan menemaninya tidur tanpa mengenakan apapun. Tentu di balik selimut tebalnya, Kek Wiryo asik menggerayangi tubuhku dan bermesraan denganku sampai akhirnya tertidur.

“You’re my new owner…”, ku kecup Kek Wiryo di kening keriputnya. Aku menutup mataku untuk tidur juga padahal dua jari Kek Wiryo masih tertancap dalam di liang vaginaku setelah tadi dia mengobel-ngobel kelaminku dengan asiknya. Akhirnya setelah sekian lama, aku mendapatkan ‘penguasa’ baru untuk tubuhku. Sebuah ‘pena’ baru yang akan mulai menggoreskan ‘tinta’nya yang berwarna putih di sekujur tubuh beliaku yang masih ranum ini. Hari baru menungguku….




  Hari Baru Hana​

Kisah PPKM Part 5 (susu dibalas air susu)



Hana Bersih-Bersih


Semenjak waktu itu aku izinkan Kek Wiryo menyirami 'ladang' belia ku, dia selalu merayuku supaya dia boleh setiap hari menyuntikkan 'obat putih' nan lengketnya itu ke dalam liang kewanitaanku setiap kali mengintimiku. Tentu aku menolaknya, setidaknya untuk saat ini. Memang aku juga ingin sekali agar rahimku diisi oleh benih dari pejantan tuaku ini, namun setidaknya aku harus lulus SMA dulu biar tidak ada sanksi sosial untuk kami berdua. 

Ya, meskipun hubungan antara gadis SMA dengan kakek tua seperti aku dengan Kek Wiryo tentu tak bisa diterima oleh lingkungan sosial di sekitar kami, tapi setidaknya jika aku lulus SMA dulu, aku bisa beralasan kuliah di luar kota kepada kedua orang tuaku dan Kek Wiryo akan beralasan ingin tinggal sendiri di luar kota yang lebih sepi sehingga aku dan Kek Wiryo bisa tinggal berdua saja dan berbuat hal mesum sesuka kami. Dan siapa tahu, aku juga bisa bertemu cinta pertamaku yang tak lain dan tak bukan adalah seorang pria tua juga, yakni Pak Karso sehingga fantasiku bisa terwujud yakni disenggamai dan dihamili 2 pria 'expired' favoritku. Kek Wiryo pasti juga sudah mengerti kenapa aku tidak mengizinkannya lagi untuk saat ini, tapi dia cuma ingin mencoba 'peruntungannya' terhadap liang senggamaku yang sudah menjadi hak milik ekslusifnya ini. 


Memang pada dasarnya, aku punya kelainan, yakni merasa sangat bergairah saat disenggamai oleh pria paruh baya dan cenderung sudah tua, aku juga tak keberatan dicabuli oleh seorang lesbian, yakni, Sheila. Entahlah, aku akan jadi apa, yang pasti, aku hanya ingin menjalani keadaanku yang sekarang saja tanpa memikirkan yang lain. Punya Kek Wiryo sebagai 'pemilik ekslusif' tubuh beliaku ini, dan Sheila sebagai pencintaku sebagai pasangan lesbi. 

Yang menjadi masalah, Kek Wiryo sudah tahu tentang Sheila, justru dia menyuruhku mengundangnya ke rumah, aku sudah tahu pasti dia ingin membujuk Sheila sehingga nanti dia bisa mencabuli 2 gadis muda sekaligus. Tapi, si Sheila belum mengetahui tentang Kek Wiryo sebagai pria yang sering menikmati tubuhku setiap harinya, dia masih berpikir bahwa pacarku itu adalah seorang pria seumuran denganku yang tampan atau minimal kaya, pasti dia kaget setengah mati kalau pacarku itu sebenarnya adalah seorang lansia uzur yang sudah berhasil ku'latih' sehingga bisa menyenggamaiku tiap hari minimal 3x.


“Ccpphhh....”. Aku mencium lembut Sheila yang sedang bermesraan denganku. Kami berdua sudah tak mengenakan apapun, saling berpelukan dan bertukar kehangatan tubuh masing-masing.

“Hana....terima kasih...kamu bener-bener keajaiban bagi aku....”.

“Hmm...bilang apa sih kamu....”, ucapku seraya menutup bibirnya dengan jari telunjukku.

“Eh iya...kan kamu bilang punya pacar cowok ? Aku boleh tahu nggak, pacar kamu kayak gimana ?”.

“Hmm...yakin kamu mau tahu ?”.

“Iyaa..aku penasaran...itu juga kalo boleh sih...”.

“oke...rahasia kamu kan udah kupegang nih sampe sekarang...sekarang gantian...kamu juga megang rahasia aku...”.

“ha? Emm....okee...emang kamu punya rahasia apa ?”.

“Sebentar....”, tanpa repot menggunakan pakaian sedikitpun, aku pun berjalan ke ujung kamar Sheila.


“Ee..hhh...Hana...nanti kamu keliatan....”, Sheila memperingatkanku karena memang aku melewati jendelanya yang memang sedang dalam keadaan terbuka namun tertutup hordeng tipis yang transparan.

“biarin aja...hihihi....”, secara psikologis, bagi aku yang setiap harinya tidak mengenakan apapun semenjak menginap di rumah Kek Wiryo, terasa begitu biasa saja berjalan-jalan di dalam rumah tanpa mengenakan sehelai benang pun di tubuhku yang putih mulus ini.

Aku mengambil handphoneku, kubuka folder rahasiaku. Tanpa penjelasan, aku memperlihatkan handphoneku ke Sheila.


“Ini siapa ?”.

“Menurut kamu...siapa?”.

“Ini, kakek kamu ya?”, tanyanya karena melihatku yang sedang foto selfie dengan Kek Wiryo.

“Hihihi....itu pacar aku....”.

“Ha? Becanda kamu...nggak lucu ah...”.

“Nggak percaya kamu?”.

“Ya nggak lah...”.

“Coba, kamu slide ke samping deh fotonya...”. Sheila langsung tertegun melihat foto selanjutnya.

“Ini beneran, Na ?”, tanyanya merujuk ke foto keduaku yang menampilkan aku bertelanjang dada sementara Kek Wiryo menampung kedua buah payudara putihku dengan tangan keriputnya dari belakang.

“ya iyalah”, jawabku santai. Seolah tak percaya, dia melihat foto-foto selanjutnya yang lebih vulgar. Ada fotoku yang diambil dari jauh dengan timer sehingga aku bisa berpose full body tanpa mengenakan apapun sementara Kek Wiryo memelukku dari belakang, aku sedang mencium penis keriput Kek Wiryo, sampai aku yang memejamkan mata karena wajahku sedang dikencingi pejantan tua ku itu. Video aku sedang berjalan berlenggak lenggok seperti model tanpa busana di depan Kek Wiryo pun juga ada.


“Aku nggak nyangka, Hana....”.

“Kenapa? Kamu illfeel ya?”.

“Nggak, aku cuma kaget aja. Kamu kan cantik banget, body kamu juga bener-bener sexy banget. Yang aku tau, semua cowok di sekolah pasti ngomongin kamu. Banyak juga yang ngomongin jorok tentang kamu. Bahkan, aku sempet kebetulan denger, guru-guru cowok juga ngomongin kamu”.

“serius kamu, Shei?”.

“Iya...”.

“Aku juga nggak tau...kenapa aku lebih suka cowok-cowok yang udah tua cenderung kakek-kakek...kayaknya aku emang ada kelainan, mau aku ngapain kek. Tetep aja, rasanya beda.”.

“Berarti kamu nggak pernah pacaran sama yang seumuran gitu ?” 

“Ya pernah lah...tapi ya itu...biasa aja, kayak ama temen. Giliran liat kakek kakek sendirian, aku rasanya gimana gitu. Cinta pertama aku juga penjaga sekolah aku pas SMP dan dia yang merawanin aku” .

“Ha? Serius kamu? Kamu yang idol satu sekolah...diperawanin sama penjaga sekolah ?”.

“Iya..mungkin itu awalnya...karena aku bukan diperawanin paksa, mungkin makannya aku jadi gimana gituu...ke kakek-kakek...”. Sheila tak berkedip dan sedikit geleng-geleng kepala.

“Maaf, Shei...pasti bikin kamu ilfeel ya?”. Sheila menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.

“Nggak, Hana...aku cuma gak percaya aja...yang jadi bahan fantasi semua cowok di sekolah ternyata lebih milih pria berumur bahkan uzur...”.

“Iya hehehe...” . Hening sementara antara kami berdua.

“Now we know about each other's secret”, tambahku.

“Yes, thanks for sharing it with me...”.

“I hope you didn't sick with my preference”.

“Of course not, you've accepted my sexual preferences too. And better, you're my first love and it's become real after your said that you're willing to become my lover even though you're not lesbian like me.Thanks for being wonderful memories to me”.


“udah berapa lama kamu kenal Kek Wiryo ?”, tanya Sheila memecah kebisuan sementara kami.

“Lupa..kayaknya hampir mau 6 bulan..”, ujarku seraya mengelus-elus perutku.

“Jangan-jangan....kamu hamil sama Kek Wiryo ?”, tanya Sheila curiga melihatku mengelus-elus perutku.

“Rencananya gitu...tapi nggak kok...aku nunggu lulus SMA dulu...”.

“Jadi kamu beneran....mau dihamilin sama Kek Wiryo itu ?”.

“Iyaa...malahan dia udah pernah DP...keluarin di dalem...”.

“Ha? Serius kamu, Na?”.

“Iyaa..waktu yang aku nginep di sini...kan besoknya aku pulang...terus Kek Wiryo nggak ngebiarin punya aku nganggur ...disiram peju terus seharian...”.

“kuat juga Kek Wiryo....tapi bentar...kok Kek Wiryo bisa bebas nidurin kamu?”.

“Iya..aku kan lagi nginep di rumah Kek Wiryo...sampe nanti 1 bulan lagi...”.

“jadi orang tua kamu ngebolehin ?”.

“Ngebolehin nginep..iya.. karena mereka taunya aku jagain Kek Wiryo. Mereka gak tau kalau aku jadi gundiknya Kek Wiryo”. 


Sheila pun bertanya banyak hal kepadaku. Aku menceritakan semuanya, mulai dari tiap pagi, aku harus makan permen karena dicekokin sperma oleh Kek Wiryo, terus vaginaku jadi 'penampung' air kencing Kek Wiryo lalu diselotip sehingga aku harus bersekolah dengan air kencing Kek Wiryo di rahimku seharian, sampai bekalku yang di 'kuahi' oleh Kek Wiryo dengan air maninya. 

Sheila tentu bertanya kenapa Kek Wiryo bisa mempunyai tenaga sekuat kuda seperti itu. Akhirnya aku juga menjelaskan dari pertama aku mulai menggunakan tubuhku untuk 'melatih' Kek Wiryo sampai akhirnya seperti sekarang, bagai kuda liar yang selalu bertenaga untuk menggenjot betinanya yakni aku. Sheila nampak makin larut dalam ceritaku, entah karena dia tertarik atau karena merasa tidak percaya bahwa aku yang dikenal sebagai bunga sekolah menjadi pelayan nafsu kakek-kakek setiap harinya. 


Saking asyiknya mengobrol, kami sampai lapar. Dengan berpakaian seadanya, Sheila pun keluar untuk meminta makanan ke pembantunya. Aku pun sudah berpakaian saat Sheila masuk ke kamar lagi. Dia memintaku untuk melanjutkan cerita sampai si Bibi datang membawa makanan dan kami makan mengisi kehampaan di lambung kami.

"Eh aku tau....kamu mau ketemu Kek Wiryo ?".

"Ha? Ng...nggak, Na...". Sebenarnya aku tahu, dari reaksinya tadi, dia penasaran juga melihatku dengan Kek Wiryo.

"Bener nih ? Nggak mau ngeliat aku digrepein Kek Wiryo ?", godaku.

"Nngg.....". 

Sudah dari awal kubilang padanya. Kami memang jadi pasangan lesbi, tapi itu bukan berarti dia memilikiku seutuhnya, dia harus rela berbagi tubuhku dengan kekasihku yang lain, yang tak lain adalah seorang pria tua.


"Aku....cuma mau kenal aja....", akhirnya dia menjawab setelah kami berpandangan.

"Naah...oke deh...yuk kita ke rumah Kek Wiryo...".

"Ha? Sekarang ?".

"Iyalah ..masa besok.. kan besok sekolah...".

"Ii..yaa, deh Na...".

"Tapi sebelum itu...", aku pun menyergap tubuh Sheila.

"You're mine...", bisikku seraya mulai 'memperkosa’nya. Sheila hanya ketawa kecil manja diperkosa olehku, dan kami pun mulai bergulat kembali.

"Oke siap ?", tanyaku ke Sheila yang membonceng ke belakang.

"Siap, Na".

"Oke...berangkatt....". 





Hana Sheila Bergumul

Memang pada dasarnya, Sheila ini pendiam, di perjalanan, kami tidak mengobrol padahal baru saja tadi kami selesai 'bergumul kucing'.

Tak lama, kami sampai di rumah Kek Wiryo. Aku baru sadar, ternyata kalau dibandingkan, rumah Sheila masih agak lebih kecil daripada rumah Kek Wiryo.

"Eh kamu punya kuncinya ?".

"Iya lah....yang punya rumah aja punya kunci ke sini...masa aku gak punya kunci rumahnya", candaku sambil menunjuk ke daerah intimku.

“Kek...Hana pulaanng !!”, teriakku.

“Masuuuk”, balasan dari dalam rumah. Nampaknya Kek Wiryo sedang di ruang tengah. Memang biasanya jam segini, Kek Wiryo sedang santai menonton tv.

“Kenalin, Kek. Ini yang namanya Sheila”, ujarku setelah cipika cipiki.

“Ini ya Sheila. Saya Wiryo”.

“Saya Sheila”.

“Ayo, mari silakan duduk”.

“I...iya...makasih...”.

“Shei, sebentar ya, aku tinggal dulu”.

“I...iya”.

“Kek, Sheila ajak ngobrol, dia orangnya pemalu jadi susah ngobrol...”.

“Iya, Hana...”. 


Aku meloyor pergi ke kamar, tidak tahu mereka mengobrol apa. Aku pergi ke dapur untuk membuatkan minum. Begitu aku datang dengan minuman, Sheila langsung terdiam, matanya terpaku padaku, tak berkedip. Tentu saja karena aku sudah tak mengenakan apapun di tubuhku. Tubuh putih mulusku yang sedang ranum-ranumnya ini terekspos jelas.

“Ayo Shei, diminum”. Sebenarnya, dia sudah kuceritakan kalau aku selalu bugil jika di dekat Kek Wiryo tapi nampaknya dia masih cukup terkejut denganku yang sudah bugil ini. Sementara kakek kesayanganku ini tersenyum. 

Seperti senyuman bangga dan merasa menang apalagi ketika aku duduk di pahanya layaknya seorang boss mafia yang sedang asik bermain dengan gundiknya. Mungkin dia agak kaget juga melihatku memakai kalung leher seperti kalung untuk hewan peliharaan, hanya saja tidak ada talinya. Tanpa disuruh, aku bersimpuh di depan Kek Wiryo yang sedang duduk, kubuka celananya dan celana dalamnya, terpampang di hadapanku, seonggok batang kejantanan favoritku yang langsung saja kumasukkan ke dalam mulut untuk kuemut sesuka hati.


Aku tidak tahu bagaimana reaksi Sheila melihatku saat ini, karena aku sedang membelakanginya. Tapi kurasa, pasti dia tidak dapat berkata apa-apa, melihat teman lesbinya sedang bersimpuh di depan pria uzur untuk mengulum batang kejantanannya. Apalagi dia sendiri yang bilang kalau aku ini termasuk 'bahan' teman-teman pria untuk dijadikan fantasi. Kenyataannya sekarang, aku yang masih belia ini sedang asik memainkan lidah di sekujur 'tongkat' milik pria uzur.

“Jadi Nak Sheila ini sekelas sama Hana ?”.

“Nggak, Pak. Be...beda kelas...”, kudengar Sheila terbata-bata menjawabnya, entah karena dia memang grogi karena merasa malu atau sedang menontonku yang semakin larut 'mengunyah daging mentah' nan keras yang ada di hadapanku ini. Biasanya, Kek Wiryo sampai menggumam, melirih, dan mendesah keenakan dengan teknik 'sedot sari pati pria' milikku ini. 

Tapi, sepertinya sekarang karena ada Sheila, dia ingin menunjukkan bahwa dia pria sejati yang benar-benar berkuasa atas tubuhku seperti pejantan alpha yang tetap cool meskipun betinanya sedang merangsang sang pejantan. Uummmhh, tapi memang benar sih, tubuhku merasa panas dan sudah tidak sabar ingin digenjot oleh kejantanan Kek Wiryo ini. Bunyi decakan dari mulutku yang sedang naik turun di batang kejantanaan Kek Wiryo terdengar cukup jelas karena mereka berdua tidak mengobrol, Sheila memang pendiam, jadi aku menatap Kek Wiryo dan memberikan isyarat untuk mengajak Sheila ngobrol lebih lanjut, sementara mulutku masih penuh dengan penis Kek Wiryo ini.





Hana Sibuk 'Ngempeng'

“maaf ya, Dek Sheila. Hana emang suka banget ngemut ini....”, aku mencubit paha manja karena dia bicara seperti itu sambil menunjuk ke selangkangannya.

“Ii...iya, Pak", jawab Sheila yang nampaknya bingung harus menjawab apa. Pastilah dia bingung, aku yakin baru pertama kali ini dia melihat seorang perempuan apalagi gadis seumuran dia yang begitu asyik & menghayati ‘menyantap' kemaluan seorang laki-laki tua seperti Kek Wiryo. Mereka pun mulai mengobrol, mulai dari hobi Sheila, sekolah Sheila dulunya, dan hal-hal kecil lainnya. 

Sementara aku seperti dibiarkan begitu saja mengulum kemaluan Kek Wiryo seolah hal yang lumrah, seperti aku memang hewan peliharaan yang sedang asik bermain dengan majikan sementara majikannya melakukan hal yang lain. Bahkan Kek Wiryo bercerita ke Sheila bagaimana aku sangat suka dicabuli olehnya setiap hari bahkan dia juga bercerita bahwa dengan senang hati aku rela dikencingin olehnya, di wajah, tubuhku, di dalam liang senggamaku bahkan sampai kutelan. 

Aku tidak tahu reaksi Sheila karena aku terlalu fokus ber'karaoke' dengan mic yang ada di depanku ini, tapi entah kenapa aku merasa malu dan kupingku agak panas namun dalam diriku serasa ada sesuatu yang sedikit bergejolak, seperti ada yang mulai mendidih. 


Damn, am I getting aroused for humiliation ? Am I getting new fetish again?. What's wrong with me ? I'm sure there's somethings not right in my brain for my strange sexual appetite. Itu yang sedang aku pikirkan, bagaimana tidak? Pertama, aku lebih bergairah ketika lawan ranjangku adalah pria tua, aku sekarang juga lebih suka telanjang daripada memakai baju. 

Dan nampaknya, aku mulai bertambah fetish lagi yakni suka dipermalukan dan di dominasi, khususnya pria-pria expired seperti Kek Wiryo. Sambil berimajinasi aku membuka panti jompo sendiri dimana isinya hanya kakek-kakek dan setiap hari mereka menggerayangi tubuhku untuk menyuntikkan air mani mereka ke dalam tubuhku sepuas mereka, aku semakin bersemangat ‘menyapa' seperangkat alat kawin milik Kek Wiryo ini, mulai dari pentungan sampai kantung zakarnya yang keriput. 

Kek Wiryo memandangiku yang semakin intens, mungkin heran kenapa tiba-tiba aku sangat bersemangat. Dia memegangi kepalaku dan mulai aktif menyodok-nyodokkan kemaluannya ke dalam tenggorokanku. Aku yang sudah terlatih, membuka mulutku lebar-lebar dan menahan rasa ingin batukku agar pria tuaku ini bisa mencapai orgasmenya.


“Sebentar...ya...Sheila....”, ucapnya meminta izin ke Sheila ingin membuang air maninya dulu ke ‘tempat sampah' personalnya yakni aku. Dan tak lama setelah kurasakan kedut-kedut pada penis Kek Wiryo. Tersemburlah cairan lezat favoritku, kutampung semua di mulutku karena agak banyak, kutadahkan tanganku di bawah mulut supaya tidak ada yang tumpah.

Selesai menerima limpahan benih Kek Wiryo, aku mengambil gelas Kek Wiryo yang masih terisi minuman setengah. Kutumpahkan semua ke situ, dari mulutku atau tanganku. Kujilati atas dan bawah mulutku dengan lidah sambil memandangi Kek Wiryo yang agak sedikit terengah-engah untuk bilang tanpa berkata ke  Kek Wiryo “enak pejunya", sambil mengedipkan mata. Aku pun membalikkan tubuhku. Sumpah, wajah Sheila terlihat merah sekali, matanya tak bergerak menatapi wajahku. Ku dekati dia sambil kubawa gelas minuman bercampur kuah putih kental milik Kek Wiryo.


“Now you see it for yourself".

“My lust for old man is real", bisikku.

“Ii...iya, Na". Mungkin kalian bertanya kenapa aku menunjukkan ke Sheila. Ya, sebenarnya aku punya misi rahasia untuk me ‘normal' kan Sheila.

“Ya udah...kalian ngobrol aja dulu yaa...Kakek mau rebahan sebentar...lemes...hehehe", ucap Kek Wiryo setelah menaikkan celananya dan pergi ke dalam kamarnya. 

Sheila diam tak berkata, aku berusaha mengulik pendapatnya tentang tontonan dariku barusan. Dia menjawab, dia sangat kaget melihatku yang notabene adalah bunga sekolah dari tiga angkatan begitu binal dan pasrah di hadapan pria yang sepantasnya menjadi kakekku. Sambil melontarkan beberapa pernyataan, dengan santai aku menyeruput minuman bercampur air mani Kek Wiryo ini.

“Rasanya apa, Na?”.

“Apa ?”.

“Itu...”, tanya Sheila menunjuk ke gelasku yang sepertinya penasaran bagaimana rasanya minuman campur ‘sambal' laki-laki.

“Hmmm...asin-asin kecut gitu deh....hihihihi....mau nyoba?”. Spontan, Sheila langsung menggeleng cepat.

“Kirain kamu mau....”. Tak lama berselang, jemputan Sheila datang.

“Naa....aku balik dulu ya...”.

“iyaa sayang....”, ucapku seraya mengecup pipinya.


“Hari ini bener-bener....tak terduga", seru Sheila yang mulai menerima penyimpanganku.

“You gotta see yourself, right ?”.

“Yess....”. Aku berjalan mengantarnya ke pintu.

“Eh...Na...kamu nggak pake baju, nggak usah nganter aku....”.

“Nggak apa-apa, sayang". 

Kami bercumbu mesra di depan pintu sebelum akhirnya Sheila keluar gerbang dan menuju mobilnya. Aku harap supirnya tidak melihatku berdiri di depan pintu karena aku masih tak mengenakan apapun. Aku pun kembali ke dalam rumah, menuju kamar Kek Wiryo.

“Jadi sampai mana tadi.....”, ucapku seraya menatap Kek Wiryo yang sedang berbaring santai di kasurnya.

“Sini...sayangku yang binal". Aku berjalan perlahan menuju Kek Wiryo untuk semakin menaikkan gelora birahinya.

“Ayo bikin adek buat Pak Aryo....”.

“serius, sayang ?”.

“iyaaa....memek Hana lagi pengen minum peju Kek Wiryo....”, tantangku yang memang sedang merasa ingin dihangatkan oleh sperma Kek Wiryo.

“Siapa takut.....”, ujar Kek Wiryo kegirangan. 


Kek Wiryo pun tentu semangat menjalanka tugasnya sebagai calon suamiku dan pemilik sah dari selangkanganku. Dia menggempurku dan membuatku menggeliat ke sana ke mari dari sore hingga malam hari sampai daerah intimku benar-benar belepotan oleh cairan putih nan kental miliknya. 

Begitu lengket di daerah intimku karena air mani Kek Wiryo begitu melimpah ruah, menggenangi rahimku sampai mulai luber ke luar. Aku yang sudah kelelahan hanya tersenyum saja ketika pria tua ini menempelkan lakban berlapis-lapis di celah vaginaku. Supaya makin tinggi peluangku hamil dari benihnya malam ini. 

Ah, aku tidak tahulah aku harus bilang apa ke ayah ibuku jika sampai sperma Kek Wiryo yang sedang berenang untuk berusaha menjebol sel telurku malam ini membuahkan hasil. Yang pasti aku benar-benar puas, tak rugi aku melatih kejantanan Kek Wiryo.

Mungkin lebih puas lagi kalau ada cinta pertamaku, yakni Pak Karso. Mungkin mereka berdua akan berebutan dan saling mengaku anak yang keluar dari rahimku jika sampai kami bisa tinggal bertiga, pikirku sebelum menutupkan mata sambil memeluk badan keriput Kek Wiryo layaknya seorang istri yang kelelahan karena puas dirojoki penis suaminya.


Hari-hari pun berlalu penuh kemesraan dengan Kek Wiryo. Kami semakin mengeksplor dalam kegiatan reproduksi kami. Contohnya, seperti minggu lalu kami mendirikan tenda di halaman depan rumah. Kami sudah mengepak dari makanan, peralatan mandi, peralatan tidur, dan lainnya sehingga selama seminggu full itu, kami sama sekali tidak masuk ke dalam rumah melainkan terus di tenda. 

Dan tentu saja, aku sama sekali tidak dibolehkan mengenakan sehelai benang pun meski aku harus keluar untuk mandi atau memasak makanan untuk kami berdua.

Aku merasa luar biasa gemetar, sangat was-was, jantungku berdetak cepat tiada henti setiap kali aku harus keluar tenda karena tidak ada secuil pakaian pun yang menempel di tubuhku. 

Kami harus keluar tenda untuk mandi atau memasak makanan, meskipun tempat mandi yang kami siapkan berbentuk tenda tertutup tapi tetap saja, aku harus berjalan bugil menuju tempat mandi tersebut. Kalau Kakek Wiryo tetap bisa berpakaian karena dia beralasan sudah tua, takut masuk angin. Dasar Kakek Licik, dalam hatiku. Dan dia juga sering berkata kalau keindahan dan kemulusan tubuhku tidak perlu ditutupi, bahkan harus dibagi dengan orang lain. 




Hana Mandi Di Luar

Anehnya, aku sama sekali tidak menolak ide tersebut, bahkan sempat berfantasi banyak orang yang menggerebek kami di dalam tenda lalu bergantian menggumuliku setelah diizinkan Kek Wiryo. Malah, aku merasa begitu terangsang, tubuhku terasa panas dengan bugil di luar ruangan seperti itu. 

Tentu selama seminggu, aku digumuli Kek Wiryo sepuasnya di dalam tenda itu. Berliter-liter sperma selalu berpindah dari ‘hidran' Kek Wiryo baik ke tubuhku maupun ke dalam tubuhku. Namun aku memasang tanda forbodden tepat di ‘gundukan' vaginaku. 

Secara harfiah, dengan dibantu Sheila, benar-benar digambar tanda dilarang, ditambah tulisan 'No Peju Allowed' di atasnya. Ditulis menggunakan tinta permanen yang baru bisa dihilangkan dengan alkohol, tinner, atau semacamnya. Tentu Kek Wiryo pun mencari jalan lain untuk bisa menginjeksikan air maninya ke dalam tubuhku yakni melalui liang pantatku dan mulutku. Pokoknya habislah aku ditusuk-tusuk oleh kakek tuaku ini selama seminggu. 


Dan karena tempat tidur yang kami pakai berbahan parasut, jadi air mani yang tercecer tidak meresap ke tempat tidur sehingga bisa kubersihkan menggunakan lidahku sesuai instruksi si kakek tua pemilik tubuhku ini. Aku yakin, jika aku tak melarangnya untuk membuang air maninya ke dalam liang senggamaku, saat ini pasti aku sudah mengandung anaknya yang tak lain akan menjadi adik Pak Aryo. 

Aku benar-benar larut dalam nikmatnya bersenggama karena Kek Wiryo begitu maksimal mendulang kenikmatan dari tubuh beliaku yang masih ranum ini setiap harinya. Digenjot, ditusbol, dan disogroki batang veteran Kek Wiryo selalu menjadi aktifitasku sehari-hari sampai ia benar-benar sudah tidak kuat lagi untuk menegakkan ‘tongkat pentung'nya di hari itu.

Jika ia sudah benar-benar tak bisa mengalirkan darah lagi ke penisnya itu, dia tinggal main ‘bongkar pasang' mainan sex nya ke tubuhku. Mulai dari dildo, vibrator, gag ball, butt plug, bahkan sampai jepitan jemuran ia pakaikan kepadaku. Benar-benar tak ubahnya seperti anak kecil yang asik bermain aksesori ke boneka nya. Mungkin sudah sesuai instingnya sebagai pebisnis sukses saat muda dulu, semakin lama ia semakin dominan sehingga hubungan kami semakin lebih jauh lagi dari sekedar tuan dan budak seks. 


Aku benar-benar seperti hanya ‘aksesoris' seksual saja. Seperti misalnya, setiap kali Kek Wiryo ke WC, aku harus duduk bersimpuh di depan pintu masuk yang terbuka. Jika dia buang air kecil, begitu selesai, aku langsung masuk ke dalam untuk mengulum penisnya, untuk mengorek sisa air seni yang mungkin tertinggal di lubang kencingnya sampai benar-benar bersih sebelum aku keringkan dengan payudarakitu

Jika Kek Wiryo buang air besar, begitu selesai, aku langsung membilas pantat Kek Wiryo dengan tanganku. Setelah bersih dengan sabun & air, barulah aku jongkok dan menjilati lubang pantatnya. Dan begitu keluar kamar mandi, aku langsung mengelap kedua kaki Kek Wiryo dengan kedua buah buntalan dagingku. Entahlah, aku merasa begitu terangsang ‘digunakan' seenaknya oleh pria lansia kesayanganku ini, aku merasa begitu terangsang dan puas saat tubuh mulusku ini difungsikan sebagai ‘alat' keperluan Kek Wiryo.


“Na...lo bawa bekel ?”.

“iya nih hehehe....”, jawabku yang sedang membuka bekalku di sekolah.

“bawa apa aja?”.

“Oh ini infused water, terus biasa ayam goreng sama sayur...”.

“terus ini saus putih apa?”.

“Oh, mayo ini mah...”.

“Tapi kok kayak agar cair gitu ?”.

“Iya, sengaja gue....mau bikin kayak saus mayo gitu...ngikutin di youtube gitu...hehehe".

“Ooh...nyobain dong".

“jangan...besok-besok aja...ini tadi kayaknya gue ada salah resep".

“yaah...yaudah deh...”. 

Tak mungkin aku membiarkan temanku menyicipi bekalku. Bisa gempar satu sekolah begitu mengetahui kalau minuman dan saus putih ini berbahan dasar dari air mani pria, apalagi pria tua. Infused water ku pun ini sebenarnya air ‘rendaman' penis Kek Wiryo kemudian dicampur dengan air mani Kek Wiryo. 

Sedangkan, untuk ‘saus' ini, benar-benar hasil dari 2x ejakulasi Kek Wiryo. Bukan hal yang sulit untuk ‘memerah' Kek Wiryo 3-4x kali di pagi hari karena memang sudah pekerjaanku setiap harinya. Ditunjang wajah cantik dan tubuh putih mulus tentu semakin memudahkanku ‘mengerek' penis Kek Wiryo naik. 

Mulut, vagina, dan anusku pun ‘alat’ yang sempurna untuk memerah penis Kek Wiryo. Mungkin karena dikeluarkan pagi hari, rasanya jadi agak aneh ketika sudah di siang hari karena memang tidak bisa kusimpan di tempat dingin dulu, tapi tetap kumakan dengan lahap. 


Sausnya pun kutuangkan langsung semuanya ke nasi dan laukku kemudian aku mulai makan. Berliter air mani Kek Wiryo yang sering kutenggak dan dibalurkan ke wajahku setiap harinya tentu menghilangkan konsep jijik dari pikiranku bahkan sampai ke konsep dimana aku merasa tidak bisa hidup tanpa Kek Wiryo dan kenikmatan yang diberikan batang kejantanannya seolah penis ‘usang'nya adalah sumber kehidupanku. 

Dan karena begitu intensnya penis Kek Wiryo masuk ke dalam tubuhku, aku yakin liang senggama atau rektumku sudah berbentuk 'cetakan' penis Kek Wiryo. Soalnya, setiap kali aku 'dicolok' oleh kakek tua ini, rasanya begitu pas mantap seolah potongan puzzle yang baru dipertemukan. Belum saja Kek Wiryo menyuruhku untuk membubuhkan tanda atau cap khusus miliknya di atas tubuhku. Kalau dia sudah menyuruhku, pasti sudah kulakukan dengan senang hati dan kubuat permanen agar semua tahu bahwa tubuh mulusku ini adalah properti sah dari Kek Wiryo.


Namun, tak disangka, segala yang baik pasti ada akhirnya. Ya, meskipun aku tahu persetubuhanku dengan Kek Wiryo bukanlah hal baik, lebih ke tabu karena mana ada seorang gadis SMA yang dikawini seorang pria tua tanpa ada beban moral di hatinya. Akhir yang kumaksud saat ini bukan karena ketahuan, tapi kesehatan Kek Wiryo yang semakin memburuk. Tentu tak ada yang menyalahkanku karena memang umur Kek Wiryo sudah semakin tua. 

Pak Aryo & Bu Dewi justru berterima kasih berulang kali karena melihatku yang kelihatan benar-benar khawatir dan cemas namun tetap telaten merawat Kek Wiryo. Dan memang hal yang paling membuat mereka berterima kasih adalah aku bisa merubah sifat Kek Wiryo 180 derajat sehingga keluarga mereka kembali seperti semula. Kalau saja mereka tahu, tubuh putih mulusku lah yang berhasil menjadi obat penenang Kek Wiryo, pasti mereka akan kaget bukan kepalang. 


Apalagi Pak Aryo, kalau dia sampai tahu kalau aku dan ayahnya yang sudah renta itu berulang kali berusaha untuk membuatkannya adik, entah dia akan bereaksi seperti apa. Dan karena Aku yang sudah terbiasa ‘mengurusi' Kek Wiryo sama sekali tidak segan ketika harus memandikannya, menggantikan popoknya meski penuh dengan air kencing ataupun kotorannya. 

Untuk itu, Pak Aryo dan Bu Dewi sangat berterima kasih padaku, mereka bilang tak tahu harus memujiku bagaimana lagi, makanya mereka memberiku uang yang cukup lumayan, tapi uang itu langsung kuberikan ke orang tuaku dan mereka bilang uang yang diberikan seperti gaji orang kantoran karena berjumlah 6 jutaan. 

Awalnya, tentu kedua orang tuaku merasa sungkan dengan uang yang diberikan, tapi Pak Aryo dan Bu Dewi bersikeras karena sangat berterima kasih kepadaku yang bahkan sekarang, aku tinggal bersama mereka, di kamar Kek Wiryo lebih tepatnya. 

Baik kedua orang tuaku maupun Pak Aryo & Bu Dewi pernah bertanya kepadaku, apakah aku merasa terpaksa menjaga Kek Wiryo.


Tentu aku jawab tidak karena aku merasa sudah kewajibanku sebagai ‘istri' Kek Wiryo untuk menjaganya. Dan karena memang aku sekolah, Pak Aryo juga menyewa orang untuk menjaga Kek Wiryo dari pagi sampai sore, sementara aku dari sore sampai pagi. Pak Aryo & Bu Dewi sekarang lebih sering di rumah mungkin karena khawatir dengan Kek Wiryo tapi sungguh benar tidak ada yang curiga denganku yang satu kamar dengan Kek Wiryo. 

Sebenarnya memang Pak Aryo khawatir kalau malam hari Kek Wiryo kenapa-kenapa, langsung saja aku menawarkan diri untuk tinggal di kamar Kek Wiryo. Mereka berdua pun tentu bertanya apakah aku yakin mau sekamar dengan Kek Wiryo. Aku jawab iya tentu. Mereka pun konsul dan meminta izin pada orang tuaku, orang tuaku memberikan kembali keputusan padaku. 


Bukannya mereka tidak menjalankan peran mereka sebagai orang tuaku, tapi dari dulu, keluarga kami memang berprinsip setidaknya berani mengambil keputusan sendiri selama masih di jalan yang benar. Well, ini bukan jalan yang benar sih, tapi setidaknya aku bisa membantu keluargaku dari sisi ekonomi.

Dan jadilah, aku pindah ke kamar Kek Wiryo. Pak Aryo pun membelikan ranjang terpisah karena terkait moral yang harus dijaga. Bagaimana pun juga, aku, seorang gadis SMA yang sama sekali tidak ada hubungan keluarga dengan Kek Wiryo tidak mungkin tidur satu ranjang dengan Kek Wiryo. 

Pasti tidak ada yang menduga kalau dengan kemauan sendiri, aku menyelinap ke atas kasur Kek Wiryo dengan tak menggunakan sehelai benang pun. 

Kenapa aku melakukan hal itu? Pasti kalian berpikir aku benar-benar mesum, melakukan hal ini kepada kakek tua yang sedang sakit parah. 

Pasti kalian baru akan percaya jika melihat langsung karena setiap sore hari, sepulang sekolah, wajah Kek Wiryo terlihat lesu dan sama sekali tidak terpancar cahaya kehidupan tapi semenjak aku ada ide, melucuti pakaian di dapan matanya lalu menemani malamnya dalam keadaan bugil, wajahnya terlihat berbeda, lebih cerah seakan Kek Wiryo kembali menemukan sumber semangat untuk terus hidup yakni tubuh beliaku yang sedang ranum-ranumnya ini. 

Apalagi ketika sudah tertidur, dia memelukku yang telanjang dan membenamkan wajahnya di belahan payudaraku.


Kek Wiryo terlihat tidur begitu damai, tentu aku agak menjaga jarak agar dia masih bisa bernafas. Nampaknya, tubuh putih mulusku benar-benar melekat di bawah alam sadar Kek Wiryo sebagai obat penenang nya. Kadang secara tak sadar, Kek Wiryo sering mengenyot ke payudaraku seperti bayi yang tidur sambil asyik menyusu ke ibunya. 

Biasanya, setiap pagi sebelum sekolah, aku bangunkan Kek Wiryo untuk memandikannya, tentu aku masih dalam keadaan bugil. Kemudian aku menyuapinya sarapan setelah aku memakai seragam sekolah. Tapi pagi ini, aku goyang-goyang badan Kek Wiryo, sama sekali tak bereaksi.

“Kek...Kek...bangun Kek....”, ucapku. Tapi, tetap tak bergeming. Jantungku langsung berdegup cepat. 

M aku tak tahu cara mengeceknya, otomatis aku langsung menaruh jariku di hidungnya dan mengamati gerak perutnya, tidak ada gerakan bernafas. Secepat kilat, aku mengenakan pakaian seadanya.

“Pak Aryo !!”, dengan nafas tersengal-sengal dan jantung berdegup cepat.

“Kenapa, Hana?”. Pak Aryo segera mendekatiku.


“Kek Wiryo, Pak". Segera Pak Aryo bergegas menuju ke kamar Kek Wiryo disusul perawat pria yang disewa itu. Perawat itu memastikan dengan mengecek denyut nadi, dan mengecek mata, dan nafas Kek Wiryo.

“Beliau....sudah wafat, Pak....”, ucap perawat tersebut dengan wajah yang sedih.

“Bapaakkkk !!!!!”, teriak Pak Aryo sejadi-jadinya. 

Sementara aku dan Bu Dewi berpelukan sama-sama menangis sedih. Aku menangis begitu keras sambil semakin kencang memeluk Bu Dewi. Kami berdua saling menangis dan berpelukan. Aku memang tahu hari ini pasti akan datang, tapi aku tak menyangka akan begitu sangat sakit terasa di dadaku. Sesak sekali rasanya, luapan sedih tak bisa kubendung. 

Aku tak peduli lagi kalau Pak Aryo dan Bu Dewi bingung kenapa aku sangat sedih. Setelah Bu Dewi berhasil mengontrol emosinya terlebih dahulu, beliau menenangkanku dan membawaku ke ruang tamu sambil tetap memelukku. Aku hanya bisa memperhatikan ketika Pak Aryo berusaha menyembunyikan kesedihannya dan bersikap tegar sambil mengurus segala sesuatu untuk pemakaman Kek Wiryo.


"Kamu pulang dulu aja ya, Hana…", ujar Bu Dewi lembut.

"Iyaa….", jawabku pelan. Bu Dewi pun mengantarku ke rumah. Begitu sampai di rumah, aku langsung berlari dan memeluk ibuku. Ibuku menenangkanku sejenak dan membawaku ke kamar. Begitu sendirian di kamar, luapan kesedihan pun tak bisa kubendung, aku kembali menangia sendirian. Tak bisa kuingat, ternyata aku menangis sampai kelelahan dan tertidur. 

Aku pun dibangunkan ibuku yang sudah berpakaian berkabung, aku segera mandi dan bergegas berpakaian berkabung untuk ikut Pak Aryo dan Bu Dewi & rombongan untuk mengantarkan Kek Wiryo ke tempat peristirahatan terakhirnya.

 

Ibuku begitu lembut memelukku dan mengelus kepalaku karena aku kembali menangis di prosesi pemakaman Kek Wiryo sampai selesai. Para warga yang mengikuti prosesi pemakaman satu per satu pulang begitu Kek Wiryo sudah dimakamkan hingga tersisa Pak Aryo, Bu Dewi, Ibuku, dan Aku. Kulihat baru Pak Aryo menangis sejadi-jadinya sambil memeluk batu nisan Kek Wiryo. Bu Dewi hanya bisa memperhatikan suaminya di samping kami seraya sesekali mengelap air matanya. 

Bu Dewi mempersilahkan kami untuk pulang duluan. Sebenarnya aku masih ingin melihat makam Kek Wiryo, tapi aku harus menuruti ibuku yang menggiringku ke luar area pemakaman karena sepertinya Pak Aryo perlu diberikan waktu sendiri. Kami berdua sampai rumah. Ibuku tetap menemaniku di kamar tanpa menanyakan sedikit pun kepadaku. Ibuku memelukku lembut dan membiarkanku meluapkan rasa sedih dengan menangis terisak-isak. 


Beberapa hari berlalu, aku bersekolah seperti biasa, namun seperti ada yang hilang dari keseharianku. Setidaknya, untung ada Sheila yang menyemangatiku. Karena dia tahu hubunganku dengan Kek Wiryo, dia berusaha keras menghiburku dan aku sangat berterima kasih kepadanya untuk itu. Sabtu sore hari, Pak Aryo dan Bu Dewi datang ke rumah. Tiba-tiba Ayah memanggilku.

“Sini, Hana...”, ibu menyusulku ke kamar. Melihat kedatangan Pak Aryo & Bu Dewi, entah kenapa aku merasa deg-degan. Ada perasaan khawatir dan cemas. Apakah mereka tahu hubunganku dengan mendiang Kek Wiryo.

"Begini, maksud kedatangan kami berdua ke sini mau membicarakan tentang mendiang ayah kami…". Deg !, aduh….beneran ini feelingku.

"A...ada apa, Pak Aryo ? Apa saya ada salah ?", jawabku ketakutan.

"Ooh..tidak, Hana...justru kami ke sini mau minta maaf sekaligus sangat berterima kasih ke kamu, Hana…", ujar Bu Dewi.

"Iya, terlebih saya sebagai anaknya. Benar-benar berterima kasih ke kamu, Hana…".

"Ee..mm...saya? Emang kenapa, Pak?", aku sedikit merasa lega karena sepertinya bukan soal hubungan terlarang aku dengan mendiang Kek Wiryo.


"Iyaa….berkat kamu...Kek Wiryo kembali ke dirinya yang dulu...kami jadi sering mengobrol lagi, bahkan membicarakan strategi bisnis lagi...persis seperti pertama kali saya belajar menjadi penerusnya....dan baik lagi dengan istri saya"

“Iyaa...saya jadi merasa menantu yang paling di sayang...kamu memang hebat, Hana...”.

“Ii...ya, Bu, Pak...makasih....”.

“selain itu, kami juga minta maaf karena kami baru sempat datang ke sini untuk mengucapkan terima kasih ke Hana. Bapak, Ibu...”, ucap Pak Aryo ke ayah dan ibuku.

“Oh iya, Pak..tidak apa-apa...” 

“dan sebenarnya tujuan kami ke sini...mau bicara tentang surat peninggalan ayah saya ini...”, ujar Pak Aryo seraya menyerahkan secarik kertas ke ayahku, kemudian setelah selesai membaca, ayahku menyerahkannya kepadaku. Intinya, surat ini menunjukkan tulisan tangan Kek Wiryo yang berpesan menitipkanku ke Pak Aryo untuk dijadikan anak angkat.


“Tanpa mengurangi rasa hormat kami ke Pak Tio...kami datang ke sini ingin menyampaikan bahwa kami berniat untuk membiayai pendidikan Hana sampai selesai kuliah".

“tapi, Pak Aryo...saya bukannya tidak setuju...saya khawatir akan membuat ada rasa tidak enak di keluarga kami ke Pak Aryo", tolak ayahku secara halus. Aku merasa agak mengerti alasan ayahku menolak. 

Sebagai kepala keluarga yang masih berpenghasilan tentu agak mencoreng harga diri ayahku. Meskipun memang tidak terlalu besar, tapi penghasilan ayahku ditambah pendapatan warung makan ibuku cukup untuk kehidupan sehari-hari dan membiayai pendidikan.

“Kami minta maaf sekali lagi, Pak. Kami sama sekali tidak ada maksud lain, kami benar-benar ingin berterima kasih kepada Hana sekaligus menjalankan amanah dari mendiang ayah saya...”. Ibu dan ayah saling berpandangan, dari tatapan matanya, aku tahu Ibu menyerahkan keputusan ke ayahku.

“Hmm....”, ayahku menarik nafas. Dia kelihatan sangat bimbang.

“Kalau begitu, bapak serahkan ke Hana..bagaimana, Hana?”.

“aahmm..itu...Hana takut membebani Pak Aryo dan Bu Dewi...”.

“Oh sama sekali nggak, Hana...”, jawab Bu Dewi.


“Kami malah senang...”, tambah Pak Aryo. Aku pun menoleh ke ayahku. Dia hanya tersenyum dan memberikan isyarat untuk menjawabnya sesuai kemauanku.

“Eemm..kalau tidak apa-apa..boleh, Pak...”, jawabku agak malu-malu. Sebenarnya, aku merasa senang karena artinya aku bisa meringankan beban ayah dan ibuku. Bu Dewi langsung menghampiriku dan memelukku.

“Kamu memang luar biasa, Hana...”. 

Setelah itu pun, kami sekeluarga mengobrol. Ayah dan Pak Aryo sepertinya membicarakan bisnis di ruang tamu. Sementara, aku, Bu Dewi, dan Ibuku mengobrol tentang diriku di ruang tengah. Yah seputar pacar, kampus yang aku tuju, dan lain-lain. Dan pastinya, Bu Dewi penasaran bagaimana caraku bisa mengembalikan Kek Wiryo dari yang galak kembali hangat seperti dulu. 

Karena skenario pertanyaan ini sudah lama ku simulasikan di dalam otakku, aku bisa menjawabnya dengan lancar tentu aku sembunyikan fakta bahwa faktor terbesarnya adalah ‘mengelola' nafsu Kek Wiryo dengan tubuh mulusku ini secara rutin dan telaten tiap harinya. Aku sama sekali tidak menyangka kalau penyakit seksualku ini akan berdampak positif ke keluargaku. Apa aku cerita saja ya ke ayah dan ibuku ? Hmmm...mungkin...





Hana Berpikir Sambil Murung


SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1446 H/2025 M

 DARI ADMIN MENGUCAPKAN SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1446 H/2025 M MOHON MAAF LAHIR & BATIN